Telah ditemukan
seekor mayat kadal dengan panjang sekita 10 cm tepat di depan pintu rumah kami.
Rumput yang hampir mencapai setengah
meter melambai-lambai seolah bukan yang patut dipersalahkan atas munculnya
kadal tragis tadi.
Ya, kalau kota
ini (Banda Aceh) katanya kecil maka kami menjadi salah dua yang merasakan
kesempitannya. Kadal kecil yang mati tragis di depan rumah kami bisa jadi jika dicari asal-usulnya berasal dari
kabupaten sebelah (Aceh Besar). Rumah kami dibatasi pagar setengah beton dan
setengah pagar kawat berduri. Nah, hanya pagar inilah yang menjadi pembatas
antara kota kecil ini dan kota sebelah.
Kalau sudah begini apa hendak
dikata. Takpun mendalami masalah kelestarian alam. Bukan pula kami sepaham
dengan para aktivis ligkungan yang hampir setuju bahwa manusia harus hidup dengan
alam sealami mungkin red: dengan seluruh ekosistemnya. Kami telah sukses
menjadikan rumah kami destinasi yang sangat nyaman dan aman bagi
keberlangsungan hidup hewan-hewan buas (Wowowwww).
Sudah pernah sebenarnya mencoba
membersihkan rumput dengan teman saya serumah. Namun, apa hendak dikata rumput
itu begitu konsisten untuk tumbuh terus tumbuh ia tumbuh lagi, lagi tumbuh dan
ia tumbuh tanpa henti.
Setelah berdiskusi alot kami
memutuskan untuk mencari tukang rumput saja. Mencari info kesana kemari dan
akhirnya saya mengantongi nomor “Cek ni” seorang tukang rumput senior dengan
segala kebutuhan pemotong rumput yang ia miliki. Dalam berbicara agaknya kami
yang berbeda suku sedikit mengalami kesulitan. Alhasil hari pertama Cek ni
mencari rumah kami bisa-bisa Cek ni telah menguras seperempat harga pembayaran
jasa potong rumputnya untuk pulsa menelpon saya dan minyak sepeda motor yang sudah dipakai
berputar-putar. Meski pada akhirnya menjemput Cek Ni ke simpang 7 Ulee Kareng
adalah solusi terakhir yang juga harus dilaksanakan.
Perlengkapan Kerja Cek Ni |
Tawar menarwar mengenai harga pembersihan
rumput berlangsung alot. “Hanjeut meunan kak...” (Cek ni beupegah bak loen)
dari sekian panjang apa yang dikatakan cek ni saya hanya menangkap kalimat
tadi. Tawar menawar dengan bahasa yang sungguh anehpun tetap alot berlangsung. Tak
hanya aku yang tidak memahami cek ni, kurasa Cek ni pun demikian, ia tidak
begitu memahami apa yang aku ucapkan. Bahkan tak mau kalah aku mencari dukungan
dnegan menelpon temanku untuk bernego. Tapi apa hendak dikata Cek ni masih
menang argumen dalam hal harga. Akhirnya kami mengalah saja (padahal putus
asa).
Karena sudah tak tau lagi harus
berkata apa dengan aksen Aceh Besar (agak lebih berat dalam pengucapan
kata-katanya ketimbang bahasa Aceh lainnya) Cek ni berkata “Jeut lage nyan?” saya hanya
mengagguk-angguk “jeut.. jeut”. Kabarnya setelah teman saya pulang pada saat
sayapun telah meninggalkan rumah teman saya banyak sekali memberi saran untuk
apa-apa saja yang dibersihkan sehingga teman saya ini digelari “Ibu Bos” oleh
Cek ni, hihi.
Awalnya cara berbicara Cek ni
yang agak keras membuat kami semua kelampungan. Namun, lama-kelamaan menjadi
tebiasa. Panggilan Ibu bos pun akhirnya menjadi hal yang lucu.
Hari keuda Cek ni datang dengan
pakaian lebih rapi dengan sepatu sangat formal. Ia, cek ni membawa plastik
berisi pakaian kerjanya. Hari ini Cek ni juga membawa teman kerja. Ini lebih
baik kami pikir. Setidaknya Cek ni punya teman bicara yang pas.
Cek Ni Bekerja dengan Semangat |
Kami sempat meninggalkan rumah dalam keadaan
terkunci dan semua orangnya pergi. Kemudian, kali ini giliran temanku
yang balik tersenyum-senyum. Ketika kami pulang jemuran pakaian yang
tadi pagi kujemur di belakang sudah pindah ke pagar depan. Ya Allah........., seumur-umur
kami tak pernah menjemur pakaian di depan. Temanku terus tersenyum-senyum. Cek
ni yang masih bersemangat menjelaskan dengan sangat antusian dengan bahasa Aceh
yang kemudian saya terjemahkan “Bajunya saya pindahkan biar gak bau asap di
belakang bakar sampah, bajunya gak bauk kan?” saya memasang wajah setenang
mungkin dengan sigap tangan saya mengambil semua jemuran itu.
Meski masih berbicara dengan nada
agak keras dan kami kurang memahami apa yang Cek ni katakan kami sudah mulai
terbiasa dengan adanya Cek ni ini. Cek ni sangat menjaga etika. ia setidaknya
dia seperti orang tua kami saja. Iapun menyuruh kami untuk menutup saja semua
pintu biar iapun enak bekerja di halaman rumah dan masyarakatpun tak berprasangka.
Melewati jam 12 kami mulai
berdisikusi dengan temanku. “Kak Bapak tu gak sholat Jum’at?” aku menjawab “em...
ade aja yang bilang” setelah panjang dengan diskusi kurang penting ini Cek ni
mengetuk pintu dan meminta izin untuk shalat jum’at. Ia telah berpakaian rapi
perisi pakaian yang ia gunakan pagi tadi. Ternyata Cek ni berpakaian rapi untuk
memuliakan hari Jum’at. Hati kami semakin tenang. Ah, malu sendiri rasanya
kalau kita beribadah dengan keterpaksaan, asal-asalan dan tanpa persiapan. Cek
ni mngejari kami mengenai pentingnya mempersiapkan diri untuk beribadah.
Sepatu Cek ni di Hari Jum'at |
Lantas bagaimana ya dnegan kita? L
Komentar
Posting Komentar