Oleh. Fitria Larasati
Gedung MPR-DPR RI |
Arsitektur sebagai lingkungan
binaan pada kenyataannya akan menyerap dan diserap oleh kondisi sosiokultural
lingkungannya. Pada gilirannya arsitektur terbingkai dalam keadaan politik
masyarakat saat arsitektur itu diciptakan. Sejarah telah mencatat bahwa sejarah
arsitektur selalu berkaitan dengan sejarah kelas yang berkuasa. Arsitektur bahkan menjadi bukti penting dan
merupakan bagian dari pasang surut berbagai kekuasaan dan berbagai
manifestasinya.
Dalam buku ini dipaparkan bahwa relasi antara kekuasaan, politik dan arsitektur lebih layak disebut sebagai
peradaban bukan semata produk budaya karena peradaban adalah bentuk yang lebih
luas ketimbang kebudayaan. Arsitektur yang berkembang pada Yunani klasik
misalnya, pengembangan kota yang dipengaruhi pasang surut penguasanya disebut
sebagai cikal bakal peradaban modern barat. Kota Paris Francis dengan perubahan
wajah kota yang sengaja dibuat mixues, berpusat pada menara Eiffel menggambarkan kekuatan dan peradaban yang tengah
berlangsung pada masa revolusi industri. Perkembangan arsitektur di nusantara
yang dimulai dari peninggalan candi-candi hingga munculnya monumen nosional
menandai logika yang berkuasa terhadap peradaban yang tengah berlangsung saat
itu.
Mengenai impact khusus terhadap nasionalisme dan arsitektur, kita dirasa perlu melirik kembali kolonialisme. Dalam hal ini, nasionalisme menggambarkan
cara melihat ke depan dan kolonialisme cara kita melihat ke belakang.
Christoper Wren pada abad ke-17 memaparkan
bahwa “arsitektur mendirikan suatu bangsa, menciptakan masyarakat dan
perniagaan, membuat orang-ornag mencintai tanah airnya.”
Pasca kemerdekaan ada kecenderungan bahwa pendekatan terhadap hegemoni barat dilakukan
dengan mengusung paradigma nasionalisme dan modernitas-progresif yang tetap
menggunakan jargon-jargon dan ikon-ikon budaya barat. Pada saat ini arsitektur
modern diadopsi secara langsung sebagai bentuk perlawanan oleh rezim
postkolonial/ nasionalis yang pada saat itu dinahkodai Presiden Soekarno.
Warna arsitektur kolonial ketika
masuk ke Indonesia juga ditandai dengan dua model perancangan yang memengaruhi
kondisi cara berkuasa kolonial pada saat itu. Pada awal masuknya Belanda ke
Indonesia arsitektur yang dibangun murni megikuti arsitektur modern Eropa menandakan suatu kondisi penjajahan secara dominasi serta fokus pada keuntungan. Warna kedua adalah wujud arsitektur yang mulai
berorientasi lokal dan berpaling pada sumber-sumber lokal, hal
ini mewakili desakan politik etis. Politik etis yang saat itu menjadi tekanan
oleh dunia internasional. Penjajah harus menempatkan yang dijajah dalam keadaan
lebih manusiawi. Meski saya pribadi melihat hal
ini hanya menjadi salah satu lapis sebab dari berbagai sebab yang juga menjadi
cikal bakal munculnya logika arsitektur kolonialis berwawasan nusantara. Antara lain,
kajian mengenai iklim yang memang sangat berbeda antara Belanda dan Nusantara. Namun,
dari sudut pandang politik dan wacana postkolonial perbedaan orientasi
prancangan ini tidak mengubah pola hubungan dominasi dan subordinasi.
Pada saat awal kemerdekaan muncul
gejala “amnesia postkolonial” yang mendorong semua masyarakat untuk melepaskan
diri dari citra kolonialisme yang membelenggu. Sebagai contoh muncul gedung
Conefo yang saat ini menjadi gedung MPR-DPR. Dimana kemunculan gedung ini
mewakili Indonesia saat itu yang berada di garis depan pada gerakan alternatf; gerakan non block. Gedung Ganefo yang saat ini disebut Glora Bung Karno
merupakan sebuah arsitektur yang menajdi perwujudan simbolik mengenai kekuatan
Indonesia. Dimana gedung ini merupakan gedung oval pertama dengan kapasitas
110.000 penonton. Soekarno yang merupakan insinyur arsitektur memasukkan
semangat Political Venues dan Sprot
Venues yang merupakan bentuk perjuangan dunia ketiga.
Pada masa pemerintahan Presiden
Soeharto keriuhan revolusi diganti dengan derap pembangunan. Semangat pembangunan secara nasional dibangun
dengan menciptakan “ketakutan masal”. Bapak pembangunan ini mengangkat harkat dan
martabat bangsa dengan tertib pembangunan. Siapapun yang menolak
pembangunan untuk dan atas nama “kepentingan umum” akan menjadi yang bersalah
dan dianggap musuh bangsa. Pada masa ini, pembanguan yang bersifat membangun
semangat ke-bhineka tunggal ika-an menjadi fokus utama. Gagasan ibu Tin
mengenai pembangunan TMII (Taman Mini Indonesia Indah) diterima sebagai sesuatu yang sejalan dan
logis.
Meski dalam banyak diskusi
dikatakan bahwa pembangunan Monas yang dilakukan oleh Soekarno menggambarkan lingga (alat vital pria) dan yoni (alat vita perempuan) menurut
perspektif Soekarno menggambarkan karya seni yang menunjukkan keperkasaan dan
kesuburan maka pembangunan TMII pada masa Soeharto lebih menggambarkan kualitas
kekuatan perempuan yang santun pada masa pemerintahan Soeharto.
Namun, pembangunan yang terjadi
pada masa Soeharto dirasa tidak menggambarkan nusantara secara umum. Semangat nasionalisme
yang ditandai dengan pembangunan masjid pancasila diseluruh nusantara dengan
atap segi lima yang merupakan adopsi arsitektur jawa menggambarkan adanya
hegemoni jawanisasi yang disebar ke seluruh nusantara. Dalam hal ini identitas bentuk fisik
arsitektur tardisional dipakai sebagai simbol hegemonik untuk menunjukkan
tertib kekuasaan dan kendali oligarki "raja"“Soeharto. Sebuah upaya
penyeragaman arsitektur vernakuler yang diistilahkan dengan ortodoksi
modernisme arsitektur.
Demikianlah, buku ini
menggambarkan kesaling terhubungan anatar anrsitektur dan situasi politik yang
ada. Semoga menambah ilmu dan wawasan baru :D
Buku: Arsitektur, Kekuasaan dan Nasiomalitas
Karangan : M. Syaom Barliana dan Diah Cahayani. P
Penerbit : Metatekstur
Komentar
Posting Komentar