Arsitektur suku Gayo masih cukup sulit untuk dipelajari. kurangnya bahan bacaan dan penelitian berkala yang berfokus pada perkembangan arsitektur masyarakat gayo menjadi salah satu sebab pendalaman akan nilai-nilai yang terkandung pada arsitektur gayo belum bisa dikaji secara lebih mendalam. Berikut salah satu pemaparan mengenai arsitektur suku gayo yang saya
ambil dari buku “Arsitektur Tradisional Provinsi Daerah Istimewa Aceh.”
Pola Perkampungan
Pola
perkampungan suku Gayo pada umumnya mengelompok pada tempat-tempat tertentu.
Hal ini sangat kentara pada perkampungan-perkampungan tua. Perkampungan di sini merujuk pada kumpuland
ari rumah-rumah yang menempati areal-areal tertentu yang dibatasi oleh sawah,
ladang, atau sungai-sungai kecil, lembah atau hanya semacam kesepakatan yang
diakui bersama anatar satu kampung dengan kampung lainnya.
Hal yang umum
didapati adalah jalan-jalan kecil berukuran sekitar 3-4 meter mengitari kampung
yang disebut dewal. Dan apabila di
pinggiran kampung tersebut terdapat sawah, maka sawah tersebut disebut ume dewal
yang biasanya sangat subur. Di antara rumah-rumah masyarkatnya
dihudungkan dengan jalan-jalan setapak. Dari seluruh rumah dalam satu kampung
masih terbagi atas beberapa belah (klen), yaitu orang-orang yang masih merasa berasal
dari satu nenek moyang yang sama melalui garis keturunan laki-laki
(patrilineal).
Dalam satu
kampung biasa terdapat sebuah Masjid (mesegid),
beberapa Menasah (Mersah) dan joyah yang dilengkapi dengan WC berupa
pondok kecil yang airnya terus mengalir. Mersah
khusus untuk tempat beribadah laki-laki dan joyah untuk beribadah kaum perempuan. Ketiga bangunan ini basanya dibangun
dipinggiran kampung dimana terdapat aliran air (anak kali). Pada setiap Mesjid,
Mersah dan joyah biasanya terdapat nin (kolam kecil), tempat mandid an
berwudhuk, yang airnya dialirkan dari kali kecil sehingga airnya terus
berganti.
Selain itu
terdapat bebalen yakni pondok kecil,
mirip dengan joyah, yang biasanya dibangun dipinggiran jalan, tempat orang
pejalan kaki berteduh sekaligus melaksanakan shalat.
Jenis-Jenis Bangunan
Rumah adat
tradisional di Kabupaten Aceh Tengah adalah rumah panggung, berkolong sekitar 2
meter sampai 2,5 meter di atas tanah. Membujur dari dari Timur ke Barat dengan
maksud untuk memudahkan mengenali kiblat ketika sembahyang dan menghindari
terpaan angin yang mudah merusak atap. Karena umumnya angin bertiup lebih
kencang dari Barat ke Timur.
Rumah dibuat
tinggi karena kondisi alam yang saat itu masih berhutan-hutan. Untuk mengindari
gangguan binatang buas. Selain itu juga untuk memudahkan memandikan orang tua
yang telah ozor, yang sedang sakit, serta memudahkan anak kecil buang air di
malam hari. Di samping itu juga memudahkan memandikan jenazah. Lantainya pada
umumnya dari sejenis enau yang disebut temor
dan ada juga yang dari bambu yang telah direndam terlebih dahulu. Atap
rumah dibuat dari daun serule yang panjangnya sekitar 60 cm disematkan dengan
serat kulit tumbuhan lelede, kereteng, nunen. Jarum penjahitnya dibuat dari
bambu tua. Setelah semuanya terekat barulah atap tersebut disebut supu.
Umah Time Ruang (umah=rumah) ialah rumah
besar yang memiliki beberapa ruang. Tiangnya didirikan di atas batu yang
merupakan ompak. Memiliki 36 buah tiang berderet-deret empat-empat. Pada ruang
bagian tengah terdapat reje tiang dan
puteri tiang. Setiap ruangan yag terdapat di umah time ruang ini berukuran 3x3
meter.
Lebar rumah
tradisional ini umumnya sembilan meter. Bagian depan sebelah timur merupaka
ruang terbuka yang disebut lepo. Bagian
ini merupakan tempat berjemur, menghirup udara pagi dan tempat para wanita
menganyam tikar, mengobrol dan lain-lain.
Bagian kanan
rumah disebut serami rawan (serambi
laki-laki) dan bagian kiri disebut serambi banan (serambi perempuan). Bagian depan
yang sejajar serambi banan terdapat
anyung yang berisi dapur besar yang hanya digunakan ketika ada upacasra
atau hajatan besar.
Antara serambi
rawan dan serambi banan terdapat bilik dari ujung ke ujung sebanyak tujuh buah
yang disebut umah rinung (kamar tidur).
Pad apinggir lepo sejajar serambi rawan terletak kite (tangga) yang
kadang-kadnag berukir.
Tiang rumah adat
tradisional ada dua bentuk. Ada yang berbentuk bulat dan ada yang persegi
empat. Pada ketinggian 2 atau 3 meter tiang dipalang untuk tempat bentalan.
Bentalan yang memanjang disebut rak bujur, sedangkan bantalan menurut lebar
disebut ruk lintang. Di atas bantalan yang melintang ini diletakkan gergel yang
merupakan papan tebal diletakkan berdiri sebagai penahan lantai.
Bagian bawah
rumah panggung disebut keleten. Keleten sebagai
tempat bekerja pada waktu-waktu senggang seperti membuat gagang cangkul,
menarah rotan-rotan dan sebagainya. Di bawah kolong ni juga baisa nya dijumpai
jingki yaitu alat menumbuk padi dan tepung yang ditekan dengan kaki
beramai-ramai. Disamping itu di antara tiang-tiang sekeliling rumah itu
diletakkan bersusun kayu api sampai-sampai mencapai buntalan rumah. Kayu-kayu
tersebut merupakan persiapan ketka turun ke sawah maupun persiapan kayu api
dalam upacara-upcara seperti perkawinan dan sebagainya.
Setiap petak
ruangan diduduki oleh satu keluarga dan setiap keluarga memiliki minimal satu
dapur. Setiap petak ruangan serami dilengkapi oleh tungku, selain memasak
digunakan juga sebagai tempat berdiang terutama bagi keluarga masing-masing ada
waktu malam hari. Pada musim dingin dapur dikelilingi untuk menghangatkan
badan. Para anggota keluarga tidur mengelilingi ketiga sisi tungku.
Komentar
Posting Komentar