Rumah Keringat Bidadariku


''Ini tidak baik untuk perkembangan anak kita yah” ucap istriku dengan begitu santun.

''Bum... bum. duar...''
Suara hentaman benda keras kedinding triplek.
rumah tipe 36 yang sudah 20 tahun kami huni, perumahan guru, berjarak sekitar 8 km dari pusat kota, hanya berbatasan triplek 5 inci dengan tetangga. Dulunya semuanya begitu ramah, ada tawa merekah dalam hangatnya bertetangga.

''Jedeeer... Gedebruk''
dilanjutkan isak tangis seorang wanita, waktu itu pukul 2 malam, tak pelak 3 buah hatiku terbangun mendengar suara itu. ''Ma.. Ade takut'' sapa anak bungsuku menggigil mendekatkan tubuhnya dengan istriku, untunglah tanpa perlu berucap, istriku telah mampu memperbaharui suasana, bidadariku ini tiada pernah mengeluh, kutau rona wajahnya berubah menjadi pucat, seketika dinding berbunyi, ku tau ia tak mampu mengontrol detak jantungnya yang tak stabil.

Tetangga baru kami begitu sering terlibat konflik rumah tangga yang sungguh membuat keluarga kami terkena imbasnya, terlebih cacian dan makian yang membuat kami meresahkan psikologis anak-anak.

Awal Maret kami memutuskan untuk mengumpulkan uang lebih ekstra dan membeli bahan bangunan sedikit-sedikit, aku yang hanya seorang guru sebenarnya sangat pesimis untuk mengumpulkan kepingan rupiah itu, lagi-lagi bidadariku ini mampu memberikan aroma positif, semuanya dimulai dengan mimpi, anak-anak di titipkan di tempat neneknya yang tak begitu jauh, kami coba berkomitmen dengan menargetkan angka 2 tahun,

Mungkin ini bukan rumah hebat yang memenuhi standar kenyamanan tertentu, dengan semangat kucoba kerahkan segala pengalamanku ketika bersekolah di STM dulu, desain rumah seadanya, denah, tampak, potongan ditambah rincian anggaran biaya, betapa aku begitu bahagia melihatnya tersenyum manis melihat usahaku ini walau dalam hatiku aku tetap tak yakin mampu menggubah gambar ini menjadi nyata.

Hampir tiap enam jam sekali dinding rumah kami bergetar hebat, tiap dentuman membuat wajah istriku begitu pucat, kumampu fahami ketak terus terangannya, untuk langkah awal 200 ekor itik menjadi pilihan diternakkan, alhamdulillah dalam 3 bulan itik-itik itu sudah menghasilkan uang, namun ini tidaklah cukup.

Sebenarnya istriku yang lebih banyak berkontribusi dalam pengumpulan uang ini tak terasa ia menjadi pekerja keras, ia menghabiskan hampir seluruh harinya untuk menyelesaikan laporan-laporan dari berbagai proyek hingga malam mecapai fajarnya, sebenarnya dengan posisi jabatan seperti ini aku yakin ia tak perlu begitu sulit mendapatkan uang itu, tapi aku kenal betul siapa wanita yang selalu mengulurkan jilbabnya itu, sepeserpun uang haram itu tak mau ia terima, “Tidak baik untuk anak-anak yah” sapanya ringan.

Walau demikian ia tak pernah bersikaf seolah penyumbang terbesar, aku tetap sebagai Pimpinan proyek, sedang dia sebagai Bendahara yang terus meng-audit perkembangan keuangan kami, pasang surut harga material bangunan membuatku hampir saja tidak lagi bersemangat, namun kondisi terus mendesak, pada bagian ruang keluarga yang juga berfungsi sebagai Mushalla terdapat lobang yang menembus ke rumah tetangga, akibat benda tajam.

“Ayah kita harus tetap buat rumahnya” aku hanya tersenyum
“Ayah percaya atau tidak ini hanya sebuah jalan yang Allah berikan untuk menggugah kita betapa penting memikirkan kondisi jangka pajang”

Wanita yang seingatku tak pernah tidur lebih awal dariku ini pun berbincang penuh semangat, ia tak pernah mengkritik desain buatanku baginya itu sudah luar biasa, ku balikan badan dengan coba berpura-pura tidur agar ia mampu terlelap, setelah lelap kubuka kembali kelopak mata, kulihat wanita luar biasa ini semakin hari semakin memancarkan sinarnya, entahlah ada perasaan sedih namun aku tak begitu faham, mungkin haru karena proses ini kami lewati bersama, ditelapak tanganynya terdapat garis-garis hitam bekas mananam ubi dan tumbuhan lain untuk konsumsi harian kami, tangan “cap Buaya” ujarnya (Buaya merupakan merek berkualitas tinggi untuk cangkul), untuk beberafa bulan ini ia terlihat lebih tua, anak-anak kamipun sependapat denganku, menjelang sore kami selalu berkunjung ketempat anak-anak.

Bulan ke-sebelas akhirnya pondasi banguna berdiri, kini kami lebih banyak menghabiskan waktu di area pembuatan rumah, kami berdua turut serta dalam pembangunan membantu tukang.

Dalam 15 bulan rumah selesai dibangun, betapa senangnya kami berkumpul dalam suasana yang begitu haru, tiada lagi gangguan moral yang mengusik kedamaian keluarga ini, dengan barang-barang yang belum dipindahkan, hanya beralaskan karpet dan dua helai selimut, kami sekeluarga sudah menginap dibangunan impian kami.

Lepas semuanya beres, rizkipun terus mudah berdatangan untuk membeli semua prabotan Rumah, sungguh tak disangka-sangka rumah ini terasa begitu nyaman dan tampak begitu megah stidaknya pada pandanganku.

Setelah tujuh bulan kami terus dalam limpahan bahagia, bidadariku itu terlihat begitu menahan sakit, dengan panik aku dan anak-anak membopongnya menuju rumah sakit terdekat, aku peluk erat tubuh harumnya, ternyata ia mengalami kelainan jantung, mungkin saja akibat menahan stress yang berkepanjangan, dan kondisi tekanan darah tinggi yang didertanya semakin tidak terkontrol. Dalam sekejap iapun pergi untuk selamanya.

Aku dan anak-anak begitu terpukul, inikah jawaban dari kesedihan-kesedihan tak beralasan itu

Komentar