Warna-Warna Berbeda

Ku ucap inginku sambil mengiba,
''ummi.. boleh kah ku ikuti mereka?'' kurong-rong ujung jilbabmu yang terus menemanimu sepanjang hari.

''Bukan tidak tapi belum anakku'' kau berucap dengan tutur kata bergelora bukan dengan semangat meliuk-liuk namun kekuatan ruhiyah yang menancap tepat di hati yang begitu dalam. Untuk kesekian kalinya ucapmu gugurkan keinginanku.

Sesekali kejahilanku melompat-lompat, ku panjat jendela dan kuseka butir embun yang melewati permukaan kaca,  udara pagi memang begitu memesona. Sayup-sayup dari jendela kuperhatikan matahari naik perlahan menyapu embun yang berkamuplase menjadi butir-butir air, semakin tinggi sang raja menaiki tunggangannya semakin jauh pandangan bisa ku jatuhkan.


''Indahnya dan begitu luas'', kubayangkan terlelap dalam hangatnya rerumputan hijau yang masih basah. Sesekali kupu-kupu dan anai-anai ikut pula berterbangan. Jika bukan karena umi yang tak mengijinkan pasti sudah kudobrak kaca ini. Namun jangankan menentangmu, menatap wajahmu saja membuat ku tak kuasa mengekspresikan kesal.

Kali ini kucoba tanyakan prihal mengapa aku tak diizinkan berlari mengitari rerumputan hijau yang elok itu.

“Ummi... mengapa kita tak bermain diluar saja?” Sambil tersenyum kau katakan dengan nada yang begitu bersahaja.

“Karena di luar sana bukan hanya warna hijau yang ada”

“Tapi aku tak perduli dengan warna lainnya, yang kuingin hanya warna hijau saja” aku meninggikan suara yang mungkin baru kali ini kulakukan, meski lepas ini aku yang takut terbesit ekspresi berbeda di wajahmu.

“Terkadang kita memang hanya menginginkan satu warna, namun, dunia ini begitu luas dan manusia begitu sering terpuruk dengan kebosanan, di balik padang hijau ini akan ada beragam warna tak beraturan” kau memaparkannya tetap dengan senyuman indah yang tak beranjak.

“Ini bagus, pas sekali” jilbab oranye berumbai

“Ummi kenapa ditutup rambutnya?”

“Inilah bagian dalam ragam warna itu” aku tak bisa menafsir apa yang umii katakan, namun kupahami apapun itu pastilah tindakan yang baik untukku.

''Umi boleh keluar pakai jilbab?'' aku kembali menanyakan hal yang sama, kau kecup keningku begitu dalam, ada butir air di kelopak matamu,

''Anakku ini berat, bersabarlah''

Dalam beberapa hari ini aku sibuk mengganti ragam jilbab aneka warna yang kau berikan, beberapa hari aku lalai dan mampu melupakan padang hijau yang biasa mengusik hari-hariku.

“Maukah Umii ajarkan tentang warna lainnya?” kau membuka sesi bercerita seperti menceritakan kisah indah tanpa teks. Aku mengangguk dan meletakkan seluruh jilbab yang membuatku tersenyum kikuk.

“Ada masanya dimana ragam warna itu bercampur, hitam jika dicampur putih akan menjadi abu-abu, kuning dicampur merah akan menjadi oranye, dan seterusnya. Jika hitam dicampur sedikit putih dan warna lainnya ia akan tetap menjadi hitam. Namun, jika putih diberikan warna hitam sedikit saja maka ia akan berubah warna menjadi hitam”

Aku mengangguk meng-iyakan karena mencampur warna adalah permainan yang sering kami lakoni.

“Yakinlah semua yang Umii beri hari ini harusnya kelak dapat menjadi warna sekuat hitam meski ia lembut selembut awan”

“Berbuat baik, bertutur santun, menutup aurat, dan semua yang kita lakukan hari ini adalah bagian dari warna kuat yang akan membimbingmu kelak, warna indah yang berpadu dalam harmoni”

Beginilah aku begitu kekanak-kanakan, dalam jahilku lagi-lagi kucepatkan rakaat-rakaat bertemu bersujud padaNya.

Kau tau aku memasang kecepatan tinggi ketika beribadah seperti ini. Namun kau kembali menyapa dengan sebuah tindakan yang meluruskanku “kejujuran, kebaikan, ibadah, dan semuanya mengakar pada wujud penghambaan pada Allah. Jika memahami bagaimana Allah selalu hadir dalam tiap napas ini kau pasti akan rindukan sujud-sujud itu. Memahami keberadaanNya inilah bagian penting dari warna kuat itu anakku”

“Pergilah esok di bawah antara waktu yang begitu kau impikan, waktu ketika rerumputan hijau itu megitu menggodamu, persiapkanlah bekal sebaik mungkin dan ingat kembali mengenai warna-warna yang sudah sempat kita ceritakan” kau melipat beragam perbekalanku, tiada  isak tangis dalam kepergianku ini, bahkan kali ini aku tak meminta.

“pergilah inilah buah kesabaranmu, berjalanlah sebagai fisabilillah anakku, warna-warna itu yakinlah ia akan tak beraturan''

Wajahmu begitu membayang, namun aku tak kuasa membantah karna kau tak kan bisa digoyahkan. Kini pintu itu terbuka sudah, udara yang biasa hanya dapat kurasakan melalui imaginasiku yang melayang-layang kini memasuki paru-paruku, begitu indah merasakan tiap aliran yang kurasakan membuat tubuh ini benar-benar segar. Namun sensasi itu hanya sebentar saja dapat kunikmati kutarik kuat jilbabmu kali ini aku yang berujar ''kutak siap'', kusembunyikan kepala di balik badamu,''umi.. Aku tak mau''.

''Pergilah, temui warna-warna yang dulu hanya kuceritakan''

Sudah hampir setengah hari aku berlari kesana kemari dilahan padang hijau yang semerbak, udara segar terus memasuki paru-paru, berlarian mengejar kupu-kupu yang berterbangan seolah mengajakku bermain. Namun, kini muncul perasaan jenuh, aku tak tau apa yang harus kulakukan, padang hijau ini teraa tak lagi indah karena kesejukannya terus berulang, bahkan ketika matahari naik aku tak tau harus menyembunikan tubuh dimana.

Ada jalan setapak yang memang terlihat begitu indah dibalik daerah hijau ini bergemerlapan warna-warna bercahaya saling kelap kelip. Bangunan tinggi menjulang, kendaraan-kendaraan super mewah dan kehidupan yang seolah begitu berdenyut.

Trotor jalan beringsut orang-orang yang menggunakan pakaian seadanya, dalam perjalanan aku berkenalan dengan wanita yang sangat baik, senyumnya manis, wajahnya cantik menggunakan rok mini. Ia suguhkan aku nasi bungkus dengan lauk ayam, tak segan-segan kulahap saja semuanya. Ia juka mampu merasakan apa yang kurasakan, ia berikan kesempatan untuk menginap dirumahnya dalam beberapa hari.

Rumah besar bak istana, aku berimajinasi tentang lakon bidadari yang diceritakan Ummi, inikah dia? Namun aku bingung lantaran Umii katakan ia hanya akan ada di surga kelak. Semakin hari aku merasa semakin nyaman tinggal disini, awalnya kau tetap membiarkanku dengan jilbab dan ibadah yang kulakukan secara rutin. Kian hari kau mulai tampakkan segala perhiasan menarik, jujur saja aku tak paham dimana menariknya, hampir tiap malam pria yang bersamamu berganti-ganti, tak jarang mata pria yang memeluk tubuhmu itu memicing kemata ku.

Aku takut, selalu saja ku ingat ummi, namun rumah ini begitu indah. Sampai pada malam-malam paling mengerikan kau paksa aku untuk membuka jilbab dan menyandingkan diri dengan pria yang tak kukenali. Ada sekitar 6 wanita sepertiku yang kau hidupi dalam rumah ini, aku tak paham mengapa mereka dengan mudahnya menerima gandengan itu.
Aku lari sekencang-kencangnya dan berbincang pada diriku “Umii, mengapa mereka tidak diajarkan oleh Umiinya?”

Aku berlari mengitari jalanan panjang yang tak kukenal, aku berdialog dengan warna-warna itu, kali ini aku tak akan mduah percaya dengan orang-orang yang baru kukenal. Malam sudah sampai pada titik istirahanya, akupun lelah sudah berlalri. Kulihat beragam manusia tidur serampangan di depan ruko-ruko kota ini. Tak sanggup berpikir akupun tertidur bersama debu-debu wajah kota.

Aku dibangunkan dengan matahari yang menyiram wajahku, delapan anak kecil membangunkanku dan berkata “ayo kerja-kerja” aku tak paham mengapa mereka seolah mengenalku, mungkin lusuhnya pakaianku, tapi aku masih kenakan jilbab yang terulur.
“bagus juga pakaianmu, pakai jilbab nanti biar makin banyak yang kasihan kita dapat banya uang”

Kulakoni apa yang mereka lakoni, bersama udara yang sungguh tak bersahabat kami mendekati seluruh mobil yang berhenti di lampu merah. Akhir hari kudapati uang rupiahan sekitar 20 ribu, lepas makan nasi bungkus mereka memaksaku untuk membeli lem, aku tak paham apa yang dilakukan selain melihat mereka mabuk sambil mengisap lem yang kami beli tadi dalam.

Untunglah ada Azan yang suaranya masih sama dengan ketika aku megerjakan shalat jama’ah bersama umii di surau. Disini kutumpahkan segala laraku, aku tak pahami warna-warna itu.

Kembali aku melangkah saat ini aku bertemu orang yang benar-bena baik, aku diberukan seragam dan disekolahkan. Kumasuki dunia baru, yang katanya berisi perkumpulan orang-orang berilmu, pakaian mereka necis penampilan mereka baik, namun mengapa mereka tidak percaya pada Allah? Mereka mengatakan ''tiada kebenaran absolut''

''umi... Ajari aku tentang ini''

Kini kumampu pahami makna akal dan hati, ''pelajarilah Al-Qur'an dari hati''.

Kata mereka kritis itu mampu lebih jeli, namun yang ku tak pahami bagaimana mereka ber-Islam tapi tak pahami esensinya??

Bagaimana mereka ber-Islam sedang mereka merasa tak ada kebenaran yang absolut??
Umi.. Ajariku tentang ini..

Mengapa mereka tak lagi tau menggunakan jilbab demi kebaikan mereka??
Umi.. Terlalu kolotkah aku dengan cara pandang seperti ini??
umi....
Mengapa mereka tak diajarkan seperti yang umi ajarkan?




Komentar