Menuju Masyarakat "Green"

oleh: Fitria Larasati
dimuat di Harian Serambi Indonesia
Sabtu, 24 September 2011


SUHU Kota Banda Aceh saat ini cukup sulit diprediksi, panas menyengat hingga 35 derajat celcius atau hujan lebat yang mengguyur datang silih berganti tanpa jadwal pasti. Sebagian masyarakat memahami fenomena cuaca beberapa hari terakhir sebagai bentuk dari pemanasan global (global warming).


Kesadaran akan fenomena bumi saat ini menjadikan kata green begitu familiar dan beralih fungsi menjadi semangat menghijaukan, semangat menjaga kemurnian alam, dan semangat untuk berhemat energi.


Dalam buku “Green Architecture, Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau di Indonesia" Tri Harso Karyono menuliskan kisahnya bersama Prof. Robert Vale, penulis buku laris “Green Architecture”. Prof. Robert Vale, biasa mematikan AC dan lampu di hotel tempatnya menginap di Jakarta. Ia juga kerap membuka jendela siang hari dan menyalakan lampu meja malam hari ketika perlu membaca adalah kebiasan yang dilihat Tri Harso Karyono.




Bahkan, Tri mengatakan, suatu ketika listrik PLN padam dan lift tidak berfungsi Profesor itu menapak tangga ke lantai delapan dan bicara pada saya, “Pemadaman semacam ini perlu dilakukan secara rutin agar semua orang dipaksa berhemat listrik”. Saya mengiyakan dengan tubuh bersimbah peluh.” kisah Tri Harso Karyono.


Tindakan yang dilakukan Profesor itu merujuk pada praktik-praktik praktis yang harusnya sudah mulai dilakukan masyarakat abad modern ini untuk menjaga kelestarian alamnya. Ia juga mengkritik perihal maraknya hajatan green yang tidak dilakukan secara green, hajatan-hajatan green ini dilakukan di ruang dengan penerangan buatan hingga beribu lampu, menggunakan pendingin udara buatan (AC), serta sedikitnya para peserta hajatan yang hadir dengan moda transportasi green.


Mungkin tindakan profesor di atas terlihat begitu berlebihan di kalangan masyarakat kita, tindakan nyata yang dianggap masih bisa dilakukan di lain waktu membuat kita janggal terhadap tindakan-tindakan yang mengarah pada perubahan kebiasaan-kebiasaan praktis pada perwujudan masyarakat green. Tindakan ini, mengindikasikan semangat masyarakat Inggris untuk berlomba-lomba dalam menjaga lingkungannya meski tindakan yang dilakukan hanya sebuah tindakan kecil. Semangat yang muncul dalam masyarakat secara bersamaan ini merupakan fenomena positif yang muncul di kawasan negara-negara maju yang secara ekonomi dan status sosial terbilang lebih stabil di banding negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.


Bagaimana dengan negeri kita? mari kita lihat pola hidup penduduk di Banda Aceh misalnya, tarap hidup masyarakatnya yang sedang berkembang menuju tingkatan ekonomi dan status sosial yang lebih maju dihadapkan pada kenyataan kelupaanya akan bagaimana menghargai nilai-nilai luhur alam dan manusia sebagai khalifah. Perwujudan masyarakat yang lupa pada nilai-nilai luhur ini juga mengindikasikan banyaknya pola nilai-nilai sosial yang arif telah luntur digerus kemajuan zaman.


Pergeseran nilai alami dari manusia di Banda Aceh, terlihat pada desain pedestrian yang tidak begitu apik di kota ini. Bahkan, beberapa badan jalan tidak memiliki tempat untuk pejalan kaki, kita terus membesarkan jalan untuk moda transportasi bermesin. Dan memberikan sedikit sekali ruang bagi pejalan kaki, meski untuk wilayah tropis seperti di Banda Aceh tentu ini menjadi tantangan tersendiri untuk mendesain sebuah pedestrian yang nyaman.


Sebagai contoh di kawasan Universitas Syiah Kuala, Kampus Jantung Hatee rakyat Aceh, aktivitas yang dilakukan mahasiswa kebanyakan meliputi rumah kos dan kampusnya serta tempat-tempat perbelanjaan seperti swalayan dan pasar tradisional. Jarak kos dengan kampus dan pasar hanya berjarak sekitar 300-1000 meter, namun sedikit sekali mahasiswa yang membiasakan diri menempuh jarak itu dengan berjalan kaki, kebiasaan yang jauh dari jalan kaki ini tidak hanya melibatkan mahasiswa yang memang memiliki kendaraan pribadi tetapi juga mahasiswa yang tak memiliki kendaraan pribadi pun lebih memilih menaiki moda angkutan umum. Mereka beralasan, enggan berjalan kaki karena di beberapa jalur pedestrian memang jarang sekali ada orang yang berjalan. Hingga terasa sangat janggal berjalan sendirian.


Kebiasaan yang perlahan menjadi tuntutan kenaikan nilai sosial (memacu orang berlomba membeli kendaraan pribadi) ini menjadi bibit perubahan paradigma kita tentang jalan kaki. Hal demikian memberikan ruang pada munculnya tuntutan kualitas hidup yang lebih tinggi. Pola hidup demikian juga memacu tingginya emisi energi yang dibakar dengan semakin meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di kalangan mahasiswa yang tentu sangat berperan besar atas terganggunya kelestarian alam ini.


Mengukur bagaimana kita berinteraksi dengan alam ini, dipengaruhi oleh bagaimana kita berinteraksi antarsesama kita. Untuk ikut berperan serta dalam menciptakan semangat green dalam bermasyarakat tentu kita harus mengawalinya dengan bagaimana seharusnya kita berinteraksi dan saling menghargai antarsesama kita. Serta meng-cross chek kembali mata rantai (pola-pola) yang membawa kita pada sikap-sikap antipati dengan masalah-masalah lingkungan saat ini.

Komentar

Posting Komentar