"Green", Gaya Hidup Muslim

Oleh Fitria Larasati
Dimuat di Harian Serambi Indonesia: Sabtu, 22 Oktober 2011

KANVAS peradaban Islam telah dilukis dengan kuas-kuas emas, warna-warna bercahaya dan komposisi pemuda-pemuda brilian. Menatap kanvas ini yang kadang tak mudah, mengenalinya tak cukup dengan mendengar ke sana ke mari, butuh pengorbanan untuk merunutnya hingga cahaya yang gemilang itu tak tampak lusuh dibalut kurangnya keinginan kita menyeka debu-debu dari eksternal kanvas yang sudah melekat.

Tinta-tinta emas ini memang terkadang sudah terpaut puluhan bahkan ratusan generasi, namun dengan membukanya kita akan dapati pelajaran yang cukup untuk dijadikan alternatif menyikapi isu-isu yang tengah tren di dunia ini dewasa ini.



Adalah Mehmet Al Fatih, yang berhasil menaklukan Konstantinopel pada tanggal 27 Mei 1453. Di balik kesuksesannya itu, ada kisah menarik yang patut kita teladani untuk cerminan hidup saat ini.

Mehmet Al Fatih (Muhammad Al Fatih) adalah seorang pemuda cerdas, handal dan ahli dalam bidang ketentaraan, sains, matematika, dan menguasai 6 bahasa saat berumur 21 tahun.

Saat berhasil menaklukkan kota besar Nasrani itu, Al-Fatih turun dari kudanya dan melakukan sujud syukur. Ia pergi menuju Gereja Hagia Sophia. Saat itu juga, bangunan Gereja Hagia Sophia diubah fungsinya menjadi masjid yang diberi nama Aya Sofhia. Pada hari Jumat-nya, atau tiga hari setelah penaklukan, Aya Sofhia langsung digunakan untuk shalat Jumat berjamaah.

Alih fungsi gereja menjadi masjid ini yang kemudian menyisakan pelajaran sangat berharga dan arif untuk dijadikan contoh tindak-tanduk kita sebagai seorang muslim. Bangunan fantastis yang dikabarkan merupakan gereja terbesar bagi umat Kristiani di Istanbul, Turki saat itu memiliki ukuran tengah 30 meter, tinggi dan fundamennya 54 meter. Tak bisa dibayangkan seberapa hebat energi dan tenaga yang dikerahkan manusia zaman itu untuk membangun bangunan fundamental ini. Bahan baku yang tidak sedikit ini tentu menguras kekayaan alam yang tak sedikit pula.

Ketika pucuk kekuasaan ada di tangan Sultan Muhammad Al-Fatih tindakan yang dilakukannya tidak serupa Hitler yang menghancurkan bangunan Cancelir lama di Jerman dengan Cancelir baru yang didisain sesuai dengan keinginannya. Sultan Muhammad Al Fatih tidak menghancurkan Hagia Sophia dan menggantinya dengan bangunan baru, tindakan ini menggambarkan Islam yang sangat ramah.

Dalam pandangan pola hidup green saat ini, kita dituntut untuk menggunakan energi dengan seefisien mungkin, pengubahan fungsi Gereja Hagia Sophia menjadi Masjid Aya Sofhia--meski pada tahun 1937 di bawah pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk diubah fungsinya menjadi museum--hal ini merupakankan sebuah bentuk cerminan tindakan green, penghargaan yang diberikan kepada bagian alam yang telah digunakan tidak sewenang-wenang dengan mudahnya dihancurkan dan dibuat baru kembali dengan menguras sumber daya alam yang lainnya. Penghematan energi besar-besaran yang bisa digunakan untuk beragam kegiatan lainnya di luar memokuskan energi yang ada untuk menghancurkan dan membangun bangunan baru.

Dalam konsep sustainable (berkelanjutan) yang sangat erat kaitannya dengan green yaitu bagaimana kita dapat melanjutkan kehidupan ini dan menjaga bumi ini dihimpun oleh elemen ekonomi, sosial, dan lingkungan. Tindakan Sultan di atas dapat menghemat ekonomi dengan tidak memperbanyak pengeluaran uang untuk menghancurkan dan membuat bangunan baru, secara sosial mampu melahirkan keramahan dan menggambarkan bentuk ajaran Islam yang rahmatan lil alamin dan dalam nilai lingkungan hal ini tentu menghemat energi dan sumber daya alam secara besar-besaran.

Demikianlah sejarah emas Islam bertutur, sebuah tindakan yang selalu mengacu pada pemikiran panjang dan analisis yang tepat menjadi ciri yang kuat dalam tiap pengambilan sebuah keputusan untuk merujuk pada tindakan yang arif. Kajian mengenai green yang memang telah marak saat ini namun menyisakan celah pada tidak meratanya kesadaran hal ini dalam masyarakat kita.

Green yang terus dikampanyekan ini tak jarang hanya menjadi omongan orang-orang di lingkungan akademisi, praktisi lingkungan dan kalangan-kalangan yang tersekat-sekat. Meski pada akhirnya yang seharusnya membangun dan melakukan pola-pola hidup green ini adalah seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang bulu.

Indonesia sebagai wilayah yang memiliki daerah hutan tropis terluas ke-dua setelah Brasil, dengan penduduknya yang terdiri dari 85,1% Muslim semestinya dapat dijadikan contoh dan motor penggerak pola hidup green di kalangan umat manusia di seluruh dunia. Pola hidup green bagi seorang muslim seharusnya mampu dijadikan gaya hidup karena tindakan ini telah dicontohkan dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana sabda Beliau yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Rasulullah menegur seorang sahabat yang pada saat perjalanan mengambil anak burung dari sarangnya. Karena anaknya diambil, maka sang induk burung mengikuti terus ke mana rombongan itu berjalan. Melihat yang demikian, Rasulullah mengatakan “Siapakah yang telah menyusahkan induk burung ini dan mengambil anaknya? Kembalikanlah anak-anak burung tersebut kepada induknya!”. Tindakan ini tidak lain adalah bagian dari sebuah pelajaran tentang bagaimana kita seharusnya menjaga lingkungan. Bahkan, Allah telah melarang kita merusak lingkungan ini dengan tegas “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Al-Qasas, ayat: 77).

Komentar