Pak Imeum


Desa ini berada sekitar 20 menit perjalanan dari pusat Kota Takengon, layaknya daerah pegunungan suhu ruangnya berkisar antara 18-270C, dengan sebagian besar mata pencaharian penduduk Petani Kopi.

Aku bukanlah orang baru didaerah ini, sewaktu kecil jalan berliuk-liuk ini menjadi objek unik tersendiri yang kami lalui dalam agenda berspeda, masih teringat ketika aku pernah jatuh tak karuan yang menyebabkan kuku Jempol nyaris copot dari posisi sebenarnya. Namun diumur 14 tahun ku, Orang tuaku memutuskan untuk membangun rumah sederhana yang menjadi pondok kami di daerah ini.


Seperti biasa aku begitu bersemangat mengikuti agenda-agenda di Kampung mulai dari Remaja Masjid, Karang Taruuna dan banyak lainnya, mungkin saja turunan dari ibuku seorang aktivis dari beberapa organisasi sosial masyarakat itu, setiap minggunya ia mampu menempuh ratusan kilometer, dengan oleh-oleh gula jawa, kerupuk opak, pisang bertandan-tandan, prioritas jangka panjang, “dunia ini hanyalah senda gurau semata” mungkin itu yang menjadi prinsip hidup beliau.

Sebut saja nama beliau pak Kurdi, umurnya sekitar 42 tahun, namun keriput itu seolah berakselerasi lebih dari kewajaran, 42 merupakan umur yang masih belia untuk menjadi seorang Imeum* di kampung yang sedikit memprihatinkan ini.

Tiga tahun menjadi imeum ia berada di kawasan putih abu-abu, untuk sebagian orang mungkin ini tak begitu menarik, tapi menurutku unik, orang yang begitu santun ini semakin kurus dan keling, pada tiap ceramahnya ia tak pernah meninggikan suara, mungkin menghindari konflik, dihadapkan pada sebuah tradisi turun temurun yang sulit untuk ia ubah, namun ini perjanjian antara ia dan Tuhannya, sisi idealisnya begitu merogoh, untunglah tuntunan agama ini luhur.

Pernah beberapa kali rumahnya didatangi masyarakat, dengan berbagai macam persoalan, salah satunya yang masih kuat diingataku prihal masuknya air dari PDAM, dulunya sumber air masyarakat Desa ini dari sumur dengan kedalaman sekitar 5-8 meter, seluruh masyarakat begitu bersemangat bergotong royong membuat saluran untuk jalur pipa PDAM ini, setelah semuanya selesai entah bagaimana ada sebagian warga yang terpropokasi meminta dana kerja lelah mereka, ditambah sebagian warga yang merasa air yang masuk kerumahnya tidak lancar, mungkin seharusnya ini menjadi tanggung jawab keucik* namun sudah menjadi tradisi di Kampung ini Imeum adalah tempat mengadu semua hal.

Yang membuatku geram adalah tindak kekerasan yang kadang mudah terjadi ditengah masyarakat ini. Bagai reporter aku begitu bersemangat pada hal-hal yang kata sebagian orang tak wajar kusenangi ini.

Puncaknya, Hari itu Idul Adha, dengan tergopoh-pogoh ia tak lagi mau menjadi Imam, orang yang tak pernah meninggikan suaranya ini terlihat begitu berprinsip hari itu, karisma yang berbeda.

Subuh hari Lepas Idul Adha, dari pengeras suara masjid “Babun Najah” terdengar berita yang semua masyarakat tak menyangka. Tanpa isyarat Allah memanggilmu dalam seketika, menurut cerita yang ku dengar kau merasakan sesak di Dada, hanya itu saja.

Dihari duka itu dua anaknya berada dalam nestafa, seorang istri yang dtinggalkan berdiam di sebelah jasad kaku itu, namun tanpa air mata, bahkan ia tersenyum menyambut tamu yang dating, bukan senyum yang dibuat-buat, senyum penuh rona kemuliaan dengan butir keiklasan.

Dua tahun berlalu, anaknya yang pertama telah lulus dari sekolah Militer dan kini menjadi tonggak utama ekonomi keluarga itu, meski ditempatkan jauh dipulau Jawa ada sedikit harafan baru dalam keluarga itu.

namun tepat di penghujung akhir 2010 lalu, sebuah kabar yang lebih mendalam menusuk hati ibu tiga anak itu datang. Si sulungpun mengikuti ayahnya, penyebabnya tertabrak ketika membawa motor.

Sebuah Tenda kembali bertengger dirumahnya, yasinan kembali berdayu-dayu dirumah itu. esoknya Peti jenazah itu telah berada dirumah, namun ibu itu tak dizinkan melihat jenazah yang telah berada di dalam peti itu, karena kondisi jenazah yang ditakutkan tidak lagi baik, aku bahkan tak mampu membayangkan seluka apa  perasaan wanita yang begitu kuat ini alami saat itu.

Pulang libur semester genap lalu, sengaja kulewati rumah itu dengan berjalan kaki, mungkin rona sedih itu tak mampu kau tolak, namun aku begitu bersimpati ketika rumah itu sudah di ubah menajdi warung kelontong kecil-kecilan dengan cat dinding berwarna orange, memberi kesan kejelasan sikap ibu itu pada keadaan yang Allah telah gariskan. Sedikit tanaman bunga-bungaan yang sudah mulai menampakkan putiknya menambah kesan kesiapan ibu itu pada ketetapanNya.

Dua lembar karung bekas penyimpan beras telah di jaitnya menjadi satu, pada bagian ujungnya terlihat jelas sambungan yang disulam menggunakan tali rapia berwarna hitam, dibentangkannya di halaman rumah sebagai tempat menjemur kopi, kopi labu (kopi yang sudah di kuliti, di cuci dan sedang dalam prosesn penjemuran sebelum dijual) aku betul-betul memasuki ruang emosional tak terperi melihat ia mampu dengan tegar melanjutkan perawatan pada kebun kopi peninggalan mendiang suaminya.

Anak gadis kecilnya yang berumur 8 tahunan itu begitu ligat menjaga took kecil itu, anak nomor dua yang kini menjadi anak sulung itu sibuk mengotak atik speda motor berwarna hijau dengan stiker penutupnya, menurut penuturan ibu itu anaknya sedang belajar memperbaiki mesin speda motor.

Komentar