Potret Malam Kota Ini


Melewati Pintu Kaca patry dengan ornamen pohon bambu, sebuah penolok berbahan alumunium berbentuk kubisme memberi kesan modern minimalis, dua jam setengah dalam ruangan ini membuat hidungku mampet, AC 180C cukup membuat pori-pori kulitku mengerut. Saat bagian luar rumah ini menampakkan hitamnya, aku tercengang dengan kemampuan kedap suara dinding partisi rumah ini, aku tak sadar ternyata hujan sedang mengguyur habis-habisan.
Pukul 10.30 malam, ini lebih 30 menit dari jadwal biasa aku mengajar. Waktu malam yang tak lagi bersahabat, ditambah hujan lebat yang tak kunjung berakhir.
“Kakak pulang ya. Tidur di rumah kakak mau? Gak bakalan disuruh jawab soal Fisika kok!” Candaku mengakhiri pertemuan malam kami. Sebenarnya kaki ini mulai gontai menghadapi aktivitas 7-10 (pergi jam 7 pagi pulang jam 10 malam) yang tiap pekan tiga kali kulakoni ini. Namun menjadi seorang guru memiliki hal menarik tersendiri, setidaknya menambah amalan-amalan kecil yang berkelanjutan.

“Hujan kak, gak apa-apa?” Tanya anak kelas 1 SMA yang sudah kuanggap adik secara ideologis ini, anak dari profesor ini memberiku banyak ilmu baru. Jika  menimbang ilmu aku yakin adik yang kuajar ini jauh lebih pintar dariku.
Biasanya lepas Maghrib aku telah berada dirumahnya kami mulai dengan belajar membaca Iqra’. Untuk ini aku merasa sangat beruntung. Aku bersimpati pada keinginannya memulai dari awal untuk mempelajari deretan huruf-huruf Arab ini sembari menunggu Shalat Isya berjama’ah—sebuah tradisi yang berlaku sebelum memasuki pelajaran Fisika. Di tengah belajar kami sering berbagi mengenai kisah-kisah masa putih abu-abuku dulu. Atau dia yang berbagi, dikeluarkannya sekotak kiriman berisi lipatan kertas Origami dengan beberapa lembar kartu post musim semi di negeri “Matahari terbit”, “Kiriman dari temen papa, Kak”, katanya. Aku tersenyum ketika BB, YM, FB, Twitter, Telpon dan SMS berdering sekaligus dikamarnya namun tak satupun yang ia perdulikan.
Sesekali ia bertanya “Kak pacaran itu bolehkan?” “Kak jilbabnya kok dipanjanging-panjangin?” “Kak kalo kakek sakit, kakek suka nyuruh tuk dibacain Al-Fatihah ditangannya sambil dipijitin, yang begitu emang ada ya kak?”
Tapi itu tadi, 30 menit yang lalu. Sekarang aku baru keluar dari garasi. Kupandangi butiran hujan yang tak juga berisyarat akan berhenti. Blower-Lamteumen butuh waktu sekitar 10 menit jika dilalui dengan 40 km/jam.
Kupacu Supra, perlahan aku mulai menikmati jatuhnya butiran hujan itu membasahi kulit yang seolah menggugurkan lelah yang menggerayangi tubuh, yang dalam tiga menit bagai tersulap lenyap oleh butiran-butiran bening ini. Perlahan fikiran-fikiran mengenai tugas kuliah, amanah-amanah, mendesak masuk pada celah-celah ruang berfikir, namun lelah ini menuntutku untuk tak memikirkannya.
Lampu jalan yang bergantungan rapi seolah memberi pengarah pada pengendara untuk mengikutinya terus dan terus, bentuk yang diekspose modern secara material namun secara filosofi diadaptasi dari pola Pintu Aceh, mungkin saja demikian toh analisisku tak setajam mereka yang merancangnya. Bentuk lengkungan yang muncul memberi kesan dinamis dan rasional, rasional karena kejujuran mengekspose bahan dasarnya. Kota ini ternyata begitu berbeda dimalam hari, tutur batinku.
Masih dalam perasaan menikmati, tiba-tiba tiga buah sepeda motor menyalipku sembarangan. Tiap motor dinaiki tiga orang, seorang pria sebagai pengendara dan dua wanita di belakangnya, wanita-wanita itu memecah fokusku, tawa mereka mengelekar tak beraturan, rok mini yang mereka gunakan tepat beberapa mili diatas lututnya, stocking hitam yang tak begitu tebal kalah disapa sinar lampu menutupi bagian bawahnya. Pengendara itu terlihat begitu liar, ia sengaja menggoyang-goyangkan sepeda motornya di jalan yang tidak lagi ramai dilalui orang-orang ini, para wanita itupun kembali tertawa tak beraturan.
“Astaqfirullah aladzim” terus kuulangi kata-kata dahsyat itu. Aku meringis tak karuan ada perasaan bergejolak, bagaimana darahku menjadi panas seketika, perasaanku melayang pada kunjungan kami beberapa hari yang lalu ke Dinas Pariwisata kota ini, mereka bertutur semuanya sudah terencana dengan baik, tentang sinkronisasi antara wacana Bandar Wisata Islami dan pelaksanaan syari’at Islam.
Aku mulai tak percaya pada waktu malam yang biasa menjagaku dalam aman, yang biasa membuatku tersenyum menyaksikan rona-rona cahaya beraturannya, bentuk-bentuk bayangan yang dimunculkannya, yang biasa ramah mengajariku melepas lelah, yang dermawan memberiku ruang untuk memilin sedikit Rupiah.
Di seputaran jalan Tgk Umar kupasang mata sigap, bak seorang detektif aku mengawasi betul sisi badan-badan jalan, berderet Outlet penjualan makanan cepat saji dengan penerangan cahaya temaram-nyaris tak ada lampu di outlet-outlet itu. Beberapa Sepeda motor diparkirkan di depannya. Seolah memberi pelayanan khusus pada para pelanggan makanan cepat sajinya para pelayan outlet ini bertumpuk pada sudut gerobaknya tanpa mengawasi berbagai aktivitas liar yang ada didekat mereka.
Aku kembali meringis, kali ini mengenai definisi “kota ini memang berbeda di malam hari”.
Sampai dirumah fikiranku masih saja pada wanita berbaju mini, orang-orang yang bermesraan tanpa malu dan penjual yang begitu terbiasa, “entahlah., semoga ini bukan “hal” sebab-akibat pada tiap bencana yang menyinggahi kota ini”.
“Ah... Mungkin saja karena hujan..”
Komentar akhir untuk peristiwa ini sebelum aku kembali pada kertas-kertas  A3 yang begitu setia menanti kepulangan tuannya ini.
.


Komentar