Manusia Post-Modern


Idul Fitri 1431 H
Rumah ini disesaki beragam manusia.

Baju baru menjadi tradisi tak tertulis dalam seremonial ini. Namun kali ini lagi-lagi aku tak memilikinya padahal ayah sudah kirimkan uang jauh-jauh hari untuk membelinya.

Aku terjebak pada rutinitas mencuci piring bersama rekan-rekan sekandung yang lain. Mendekati pukul 14.00 sebuah Innova silver kembali memasuki selasar rumah, dengan ekspresi seadanya aku menuju kedepan dan mencoba seramah mungkin pada tamu.

“Kak ini Om Alim” ayahku memperkenalkan.
”Om, baru nyampe?” sapaku sambil menyalami om Alim dan istrinya.
”Kenalan ma kakak,” intruksi wanita itu pada tiga anaknya.
Kusodorkan tanganku pada ketiga anak berumur 12-an itu. Mereka menunduk menyebutkan nama tanpa menyambut tanganku.
”Bukan muhrim, Kak.” jelas istri omku ini dengan sedikit bercanda yang membuatku tercengang.



Lepas menyelesaikan tugas pokok, kusempatkan bercengkrama dengan gerombolan anak belasan tahun yang bermarkas di taman belakang rumah. Semuanya terlihat sibuk dengan berbagai aktivitas masing-masing namun tetap dengan sebuah Hp yang tak berada jauh dari mereka—padahal aku sendiri lupa dimana meletakkan Hp lepas mengirim ucapan Selamat Idul Fitri kemarin malam, kecuali tiga orang yang sedang beradaptasi dan butuh istirahat ini, Tak ada tanda-tanda mereka membawa Hp. Padahal konon katanya Om Alim seorang owner Perusahaan besar dalam bidang pengolahan limbah perusahaan pertambangan.

Azzan Ashar berkumandang, aku berusaha untuk meninggalkan segala aktivitas namun yang lain bahkan tidak bergerak untuk shalat diawal waktu. Yang membuatku tercengang adalah Om Alim sedang mengumandangkan azzan ashar di mushalla rumah. Sedang tiga jagoannya telah berbaris di belakangnya seolah tak mau meninggalkan kesempatan dua Rakaat Shalat Rawatib.

 Lepas Ashar kami semua bersiap-siap untuk bergerak mengunjungi rumah saudara-saudara yang lebih tua dengan berbondong-bondong, karena siap terakhir aku masuk ke mobil yang masih kosong dan satu-satunya yang kosong adalah mobil Om Alim.

Dengan vinil kaca yang kutebak kami dapat leluasa memandang keluar tanpa diperhatikan orang. Kupancing sebuah pembicaraan dengan memberi candaan mengenai pengendara sepeda motor di depan kami. Namun begitu garing, terbukti mereka hanya tersenyum kecil.

Sepanjang perjalanan musik yang diputar berada diseputaran Nasyid dan Murattal Qur’an.
”Kakak mau jadi arsitek hebat ya?” tanya Om Alim memecah hening.
”Insya Allah, Om.”
Keheningan mencair, Om Alim mulai bercerita,”Mereka lomba kemarin Kak waktu Ramadhan siapa yang paling banyak hapalannya sama yang sering khatam.”
”Sapa yang juara?” tanya Om Alim memancing ketiga putranya.
”Bang Farah Yah, 4 kali khatam Qur’an.”
”Wah, tapi hapalannya abang masih gak lancar di surat Nuh”
Aku tercengang menyaksikan tiga anak ingusan ini berdiskusi serius.
”Ok Bang coba sambung ya surat yang Ayah baca.”

Aku mengeluarkan Al-Qur’an kecil untuk menyimak hapalan anak SMP ini, kurasa hapalan yang baik. Namun, dengan seloroh Hubam menyahut, ”Ada empat kesalahan.” Semuanya mengenai penempatan huku Mad.

”Hadiahnya apa Om? Hp baru ya??”
Dengan kompak ketiganya menjawab,
”Hp kami kan satu untuk ber-empat sama ibu dan cuman boleh dipakai 1 jam satu hari.”
Gedebruk, saya seolah tak percaya dengan keluarga ini.
Mendekati rumah tujuan, telihat Bunda Nini mengeluarkan beberapa barang di bagasi belakang dan sebuah tas penuh amplop putih kecil-kecil.

Tiap anak kecil yang dilihatnya diberikannya amplop kecil itu, termasuk aku juga mendapatkannya. Belakangan aku tau bahwa barang-barang di bagasi itu merupakan sarung berkodi-kodi jumlahnya untuk dibagikan.

Sebuah tas yang bahkan mirip tas belanjaan di supermarket dibopong Bunda. Bunda ini terlihat begitu sederhana, hanya sebuah cincin emas sederhana yang melingkar di tangan kirinya.

Malamnya mereka semua menginap dirumah, sebenarnya anak seumuran meraka ada beberapa yang lainnya, namun aku tak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan, bahkan jika bersama mereka aku dianggap penceramah kelas kakap. Karena itu, lepas malam aku masih bercerita dengan Farah dan Hubam.

”Hubam pingin jadi apa kalo besar?”
“Pingin jadi ahli tafsir Hadist, Kakak. Pingin kuliahnya di Oman.” Aku betul-betul tercengang.

Kalau Farah, “Pingin jadi peneliti, Kak. Farah suka Astronomi, pingin kuliah di Amerika. Kemarin temen ayah ada yang udah kasi tau cara-caranya,”
“Tapi yang pingin banget taun depan pigi umroh kak, tapi uangnnya belum cukup, lagi nabung-nabung.” Sambungnya.

“Nabung sih nabung, tapi kan gak boleh pelit ya, kak?” Hubam menimpali Farah dan seolah memberi kode pada ingatanku, sebelum kami makan bakso di Daerah Pante Raya Bener Meriah. Farah selalu saja bertanya, ”Dibayarin atau bayar sendiri ni?”

Sebelum menutup mata kubuka amplop putih tadi ternyata berisi uang seratus ribu rupiah.



Komentar