Perjalanan Dakwah

Bagai mencari setitik mutiara di tumpukan lumpur, bukankah kita harus korbankan sedikit atau bahkan seluruh pakaian yang kita kenakan untuk menjadi kotor, untuk ikut rusak bahkan mungkin untuk diikhlaskan tidak lagi bisa digunakan. Begitulah, jalan cinta yang telah mengajari kita banyak hal ini jua akan menggambarkan makna keteguhan melalui perwujudan tindakan-tindakan, bahwa derajat iman dan taqwa kita akan ada pengayaannya, akan ada pemilihannya, dan akan ada seleksi diantaranya.





Indah bukan ketika kita dengar bahwa di masa ke Khalifahan Umar bin Abdul Aziz yang hanya memimpin sebentar saja, mampu meningkatkan kesejahtraan ekonomi rakyatnya hingga tak ada lagi orang miskin yang bisa diberi sedekah. Semua ini ia capai bukan dengan sekedar mengucapkan sebuah kalimat atau menyuruh orang lain bekerja keras. Tubuh yang awalnya segar bugar kian hari kian melemah, tak mampu membayangkan sekeras apa ia membanting tulang, hingga hanya dalam hitungan dua tahun kondisinya terus merosot dan meninggal dunia.



Bagaimana dengan Umar bin Khatab, mungkin yang kita bayangkan sosok pemuda tangguh dengan kehebatan luar biasa yang mampu menggetarkan? bukankah di hari tuanya ia menggunakan tongkat untuk sekedar menopang tubuhnya?, masihkah teringat dalam ingatan kita ketika khalifah yang begitu Sholih ini sedang bermesra dengan Tuhannya ia ditikam?

Jika hari ini hanya kebahagiaan dunia, kekayaan, jabatan, serta kedudukan yang membuat kita berada di Jalan Dakwah ini maka yakinlah dua sosok di atas menutup ruang untuk tercapainya niat miring kita itu. Namun jika RidhoNya, cintaNya serta rindu kepadaNya yang membuat kita bertahan di jalan ini maka dua kisah indah di atas akan semakin menguatkan keimanan kita, betapa Umar bin Abdul Aziz begitu ingin di ambil dalam keadaan tunai semua tanggung jawabnya, Umar Bin Khatab telah serahkan segala potensi yang ia miliki dan tunai sudah ketika sedang asik bersamaNya ia menghembuskan napas terakhirnya.

Keimanan yang dipupukpun tentu butuh tahapan-tahapan yang harus ia lalui, tekanan-tekanan serta ujian-ujian yang terus mengintai akan mengajari kita untuk mampu beradaptasi. Jika iman terus bertempur dengan gangguan-gangguan itu, tentu akhirnya salah satunya harus mengalah jua.

Saat Rasulullah Saw wafat Umar menangis dengan begitu histerisnya, namun ketika Abu Bakar wafat ia tak lagi menangis, bukan karena tak mencintai Abu Bakar, namun ia sudah terbiasa dan mampu menguasai diri terhadap cobaan ditinggalkan oleh orang-orang yang begitu ia cintai.

Sebuah catatan sebagai gambaran tentang perjuangan mereka yang telah lalu.
Di tulis ulang dari sebuah catatan “Taujih dari seorang Murabbi”, dengan mengambil sedikit bagian makna-makna yang dipetik dari Buku “Fiqih Dakwah” Syaikh Mushthafa Masyhur. Serta beberapa kutipan berikut:

“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.
Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.” (alm. Ust Rahmat Abdullah)

“Kalau iman dan Syetan terus bertempur, pada akhirnya salah satunya harus mengalah” (alm.Ust Tahmat Abdullah)

“The bell is dumb and does not ring of itself, unless someone handles or moves it” (NS)

Dan sebuah ayat Al-Qur’an yang begitu menggugah
“Jangan kau kira bahwa orang-orang yang tebunuh di jalan Allah itu mati! Bahkan mereka hidup di sisi Rabbnya dengan mendapat nikmat. Mereka bergembira disebabkan apa yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya. Mereka bergirah hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka. Bahwa tiada kekhawatiran atas mereka dan tiadalah mereka bersedih hati.”  (Ali-Imran:169-170)

Komentar