"Astuti" Ruang Eksperimen



Astuti (Astrea Tujuh Tiga)
di ambil dari google
Astuti (Astrea Tujuh Tiga) itu tak lagi tau di mana bangkainya, dulu di atasnya aku menelusuri jalanan baru si aspal hitam. Atau mungkin jalanan lama tapi yang tak juga ku ingat. Karena, saat itu aku selalu duduk di tengah memeluk tubuh ayah yang mengendarainya dengan berhati-hati dan ibu yang mendekapku dari belakang. Kadang ini terasa tempat yang sangat menyesakkan. Namun, hanya dengan mengatakan akan menaiki Astuti ini saja ayah mampu merayuku untuk merubah mood.

Tempat sempit yang ku kuasai dengan tubuhku ini lama-lama menjadi nyaman juga, entah siapa yang beradaptasi, tempat ini yang membesar atau tubuhku yang mulai merasa cukup atau aku betul-betul merasa nyaman karena dilindungi dua orang yang begitu tulus ini. Lambat laun bak menjadi milik pribadi. Ruang yang kubuat dengan batasan aktivitas terbatasku ini menjadi laboratorium perjalananku. Karena terlalu lelah memandang ke atas dan kesamping, kuperhatikan aspal hitam yang kami lewati. Semakin kuperhatikan bagai memunculkan garis-garis yang bergerak berlawanan arah dengan laju kendaraan kami. Kian hari kian meningkat bentuk-bentuk eksperimenku, aku sengaja melemparkan kepingan seratus yang ada di kantung ke atas dan mencoba menangkapnya. Aku sukses menangkapnya. Namun, ini mungkin karena aku hanya melemparnya sekitar 30 cm. jika ku lempar ke atas apakah logaman ini akan tertinggal dibelakang atau ikut bersamaku. Meski kemudian jawaban-jawaban itu kudapati ketika di bangku SMP mengenai Gerak semu dan mempelajarinya lebih dalam lagi pada teori Relativitas Einstain.




Ini mengenai ruang cukup yang dikatakan cukup. Bagaimana mungkin bisa bersandarkan pada standar nyaman jika nyaman hanya dirasakan oleh indra, ini juga mengenai bagaimana kita merespon yang “ada pada”. Tentang pepatah yang Mbah saya sering katakan dulu “Mbok yo di syukuri ndok”. Bagaimana kita bersyukur, sebuah nilai yang religius kadang memang tak rasional secara hitungan namun nyata. Bahkan ruang sempit itu menjadi tempat yang lebih cukup dari sekedar duduk.

Bagaimana aku membentuk ini ruanganku?

Ini sederhana, ketika ibu tak membiarkan kepalaku menyatu dengan udara bebas yang berterbangan dan kemudian membatasi pandanganku untuk tak liar mengamati seluruh bagian yang jauh dan mendekat kemudian berlalu bersama garis-garis aspal yang berlawanan arah dengan kami tadi. Di situ aku mendefinisikan ada dua ruang yang terjadi; ruang yang boleh dan tidak.  Ruang yang boleh ini mungkin lebih familiar dengan ruang internal (Interior) dan ruang yang tak boleh adalah ruang eksternal (eksterior).


Mereka yang mengajariku kata cukup



Dalam ruang yang boleh ini kemudian aku diajarkan tentang syukur yang tadi…
Dan dalam syukur ini saya makin yakin dengan kehebatan Allah SWT dan menumbuhkan cinta mendalam pada Rasulullah SAW.

"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim: 7)

# jika menulis seperti ini sangat kental dengan gaya berceritanya Avianti Armand. Mendobrak cara berfikir tradisional. Tentang rasa yang menjadi sumber perbedaan informasi yang tersampaikan harusnya membangkitkan saya untuk menuliskan yang lebih banyak mengenai apa yang dirasakan dalam Islam. Fenomenologi, Semiotika, Strukturalis dan post-strukturalis serta dekontruksi. Kebanyakan bahkan didevinisikan oleh sastrawan seperti Deridda. Karena ini mengenai bahasa.

Komentar