Generasi (Salah) “Persepsi”

 Saya tak ingat  Jum’at lalu (9 Desember 2011) merupakan Hari Anti Korupsi,
Jika seorang teman tak memberikan saya sebuah “pin” kecil bertuliskan “Bangkit Lawan Korupsi”
Pikiran saya melayang membayangkan jika Hari Anti Korupsi ini disingkat menjadi HAK,
Ada simbol terselubung dalam teori konspirasi,
Ah… mungkin saja imajinasi saya saja yang terlalu liar.
Sore harinya hampir seluruh siaran berita di TV mengisahkan unjuk rasa besar-besaran sebagai bentuk  tuntutan mengenai tidak beresnya pemberantasan korupsi di negri ini, sebagai mahasiswa saya merasa sejiwa dan satu semangat untuk memeberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Aksi arak-arakan menggunakan beragam simbol, penanda ketidak becusan pemerintah menjadi teatrikal unik tersendiri di panggung bernama jalanan dengan batasan ruang berupa barisan petugas keamanan.
Di sisi lain terkadang ada beberapa adegan yang menurut saya tidak lagi sesuai dengan ciri khas kita Bangsa Indonesia. Sambil meneguk  segelas penuh air putih sebuah kebiasaan untuk menetralisir segala macam makanan yang masuk ke tubuh setelah satu harian di luar, saya memerhatikan bagaimana layar dua dimensi itu bermain dengan gambar bergeraknya ditemani suara ribut.
 Tak main-main, tanpa terasa kita terus dicekoki kalimat-kalimat emosional berkonotasi negatif. Bukankah perasaan panas itu konseptual sederhana yang begitu kita gantungkan pada indra? Atau jangan-jangan kalimat-kalimat panas yang membanjiri layar bergerak itu telah berubah menjadi dokrin yang melekat di dalam kepala kita?.

Perasaan semangat dan panas (red:emosional) muncul dalam diri kita setelah kita memasrahkan diri menyaksikan layar TV. Kembali kepala saya berfikir, bagaimana kabar bangsa ini jika saja dua hal yang bertentangan dipaksakan menjadi satu. Semangat yang pada dasarnya adalah hal baik dipaksa bergandengan dengan perasaan emosional negatif.
       
   Hal-hal ini menggiring  cara berpikir saya bergeser pada wilayah netral. Wilayah netral ini memungkinkan kita menganalisis apa penyebab berbenturannya persepsi kita pada aksi yang dilakukan teman-teman kita sendiri, dan mungkin saja persepsi demikian juga terjadi pada banyak teman-teman mahasiswa yang lain.

            Analisa ini dimulai dengan menganalisis hal-hal dasar pembentuk persepsi, persepsi yang kemudian memunculkan paradigma. Paradigma yang memberi gambaran mengenai apa yang dialami oleh pemuda bangsa ini yang terjewantahkan oleh beragam aksinya. perspectives are not perceptions but are guides to our perceptions; they influence what we see and how we see and how we interpret what we see. They are our eyeglasses we put on to see” (Charon, 1989: 7-8).

            Jika diukur-ukur maka yang menjadi mahasiswa saat ini adalah kami yang berumur di antara 19-25 tahun, para pemuda kelahiran tahun 1986-1993-an, pemuda yang tumbuh ketika  orde baru runtuh menuju reformasi. Pemuda yang masa remajanya dihabiskan menyaksikan dengan indranya masa trasisi bangsa ini antara sistem yang begitu kaku menuju sistem yang sangat luwes.

Mereka juga menjadi saksi tumbuhnya bangsa ini dalam ruang reformasi yang dalam jangka waktu 12 tahun bahtera negri ini telah berpindah selama 5 kali, para pemuda yang masa pencarian jati dirinya berbarengan dengan masa pubertas bangsa ini.

Dalam  masa pencarian jati diri negari ini persis bagai remaja labil, asyik mencoba-coba  dan masih begitu sulit untuk mengatakan “inilah saya” sebagai identitasnya. Dalam masa seperti inilah pemuda yang menjadi iron stock, social control, leading sector dan agen of change bangsa ini tumbuh. Jika demikian maka kita dapat sedikit berasumsi bahwa hal demikianlah yang tertanam dalam kepala anak muda bangsa ini dan menjadi perspektif yang merupakan landasan berpikirnya menuju paradigma yang teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Jika demikian, wajar saja jika hanya dalam hitungan 12 tahun gejolak arogansi pemuda bangsa ini kian tak terkontrol. Untuk menuntun para pemudanya menjadi insan-insan yang mumpuni secara kualitas dan kuantitas tentu negri ini dituntut untuk dewasa segera. Segera menemukan jati dirinya dan tidak terkungkung dalam masa-masa pencarian jati diri.

Meski dalam perspectif berbeda bangsa ini tidak layak dinyatakan sedang mencari jati diri  karena sudah 66 tahun ia merdeka. Namun, pada kenyataannya bahwa negri inipun sedang mencoba-coba sistem terbaik yang dapat digunakan di bangsa ini tidak bisa kita elakkan.  Pada kondisi ini ada kecenderungan bangsa ini amnesia. Melupakan nilai-nilai luhur yang pada hakikatnya sangat baik dan pas untuk diaplikasikan pada bangsanya yang tidak hanya baik dari segi sistem namun juga mampu diterima oleh masyarakatnya secara luas karena tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur lingkungan mereka tumbuh.
Dengan segera menjadi dewasa dan mampu mengingat kembali jati dirinya bangsa ini tentu bangsa ini dapat dijadikan rujukan oleh pemuda bangsanya. Bagai seorang ayah kepada anaknya tnetu sanga ayah dituntut untuk lebih dewasa dari anaknya agar bisa meredakan beragam gejolak yang dialami anaknya.  Sebuah pepatah gayo “Ike mah kude kuwan wih, enti bio ari kuduke” yang artinya kalau membawa kuda ke dalam air jangan diusir dari belakangnya, tetapi si pembawa kuda itu harus lebih dulu masuk ke dalam air.

Komentar