"Jawa", Kita Labil

Aku berdiri tak begerak.
Menyaksikan tiga “labi-labi” dipenuhi manusia itu menjauh dari pandangan.
Dengan barang berkardus-kardus di atasnya.
Aku tak kuasa menguasai jiwa yang ikut berlari bersama “labi-labi”.

13 tahun sudah kejadian itu berlalu. kita yang dikatakan “Jawa” saat itu dipaksa untuk membelah waktu pada dua bagian. Kebersamaan kita adalah bagian dari masa lalu, dan hari esok mulai dari hembusan napas pertama adalah masa depan yang tak akan bisa berkaitan lagi.

Aku memang merengek. Berharap jika mata terbuka di esok hari kita kembali pergi ke Mushalla Al-Furqan bersama. Berlama-lama di sana menyusun strategi-strategi kecil kita. Berbaris melihat rapor semester dengan peringkat 1 dari kelas satu hingga kelas 6. Bermain sepeda dan segala perangkat masa kecil kita.

“Jawa” mungkin akan lebih mudah jika aku melihat dari sini saja. meski hanya beberpa kali selama hidup ini menginjakkan kaki di tanah jawa. Hal ini cukup santun untuk mengekspresikan ayah yang “jawa” seorang almamater IPB yang katanya tersohor itu mengabdikan dirinya di tanah ini.

Biar ku jelaskan sedikit. Dia dan teman-teman digiring ke tanah ini untuk merintis sekolah kejuruan sekitar 30 tahun lalu. Ia memang tak pernah menyesalinya. Bahkan satu hal yang sangat dibanggakannya adalah “tak akan bertemu ibu jika ayah tak menyeberang”.

Kemudian kenapa “Jawa”? ada sedikit alasan kecil lagi. Beberapa waktu yang lalu aku bertelponan dengan seorang teman di Jambi yang juga berdarah Jawa. Awalnya pembicaraan jauh sekali dari sektor ini. Namun, menggelinding hingga kembali kita membahas kata “Jawa”.

Jika tulisan “Primordialisme” karya Goenawan Muhammad menggambarkan ia yang dianggap bukan “Jawa” tidak akan dapat mengerti jawa. Maka aku bukanlah Orang Jawa yang Mengerti Jawa dan bukan pula Orang Psesisir yang Mengerti Pesisir. Ini hanyalah catatan orang-orang pinggiran.


Nama sebenarnya mengukuhkan sesuatu yang genting, yang labil. Maka dalam setiap nama ada jejak kekuasaan agar yang labil tak cepat kacau. Kita labil mendefinikan antara rasa hangat dan panas. kemudian dengan mudah kita mengungkapkan yang kita rasa dengan kata “Hangat”. Hangat mengukuhkan perasaan labil kita dan berkuasa untuk mengabaikan perasaan yang sebenarnya tidak tepat pada hangat. Jika diberi angkat 1 untuk dingin dan 100 untuk panas 50 untuk hangat. Maka bisa jadi hangat yang kita rasakan bukanlah di angka 50. Bisa jadi 51, 52, 30 atau bahkan ketika genting ia hanya pada level 15 kita devinisikan sebagai hangat.

Lagi kisah penembakan yang katanya menjadi sasaran “Jawa” memberi luka. Luka bukan sekedar fisik. Pada “Jawa” dibumbui maksud lain yang bisa jadi tak diketahui oleh “Jawa” dan yang memberondongkkan selongsong itu.
Sudah begitu banyak luka. Sudah begitu banyak air mata. Namun, mengapa tetap ada. Mungkin saja jawaban Langit akan sangat singkat. “Karena kalian masih saja mempermasalahkan hal yang labil”.

Menyelesaikannya hanya menjauhkan ‘beda’ dan menghadirkan ‘sama’. Aku menjadi kaum pinggiran bukan karena ‘beda’ tapi karena aku merasa ‘sama’ pada banyak hal dengan keduanya. Kita sama-sama Islam. Islam yang jika dimaknai akan membubuhkan garis lurus kepadaNya. Aku Islam yang hanya ingin menapaki garis lurus itu. Bukankah kita sama? Jika pada hal ini kita sudah sama. Tak perlu sama yang lain. Karena kita memang sama.  

Komentar