Terimakasih Atas Genggaman Itu

“Kak...”

Tak biasa kau menggenggam tanganku dengan seerat ini.

 “Bolehkah 5 menit saja kita berbicara kak?” aku melirik jam tangan digital pada nomor-nomor yang terus berganti itu. Pukul 17.38, hatiku bergidik, bukankah memang di waktu ini aku milik mereka. Hak mereka bersamaku dan mendapatkan perhatianku.

Ku akhiri pertemuan ini lebih awal bukan karena alasan yang tak diterima kepala. Kalianpun setuju aku pergi duluan untuk sedikit hal yang lebih penting.

“Bisakah kak?” tanganmu masih menggenggam erat tanganku, butir keringat teras membasahi telapaknya. Tangan itu terasa begitu dingin. Ku saksikan beberapa kali kau menarik napas begitu dalam.

Ingin ku katakan padamu, untuk lima menit ini aku bukan tak setuju dengan permintaan itu. Namun, mungkin pikiranku tengah memasuki gelombang alfa hingga terasa begitu haru. Wajahmu yang kemudian menjadi pasi bukanlah sebuah pertanda permintaan persetujuan. Namun ini bagian dari hakmu meminta waktuku yang kadang masih banyak ku buang pada hal-hal yang tidak bermanfaat.


Kita ambil posisi ternyaman di bawah pohon rindang yang tak jauh dari speda motor.  Meski  tak pernah ku balas ungkapan cinta yang sering kau kabarkan. Akupun mencintaimu semampuku, semampu pada kerelaan hati ketika kelak kau harus ku lepaskan.

“Kak, kalau kita tau orang berbuat maksiat kemudian kita tak menegurnya bagaimana kak?” aku tau ini hanyalah pertanyaan pembuka. Kemudian pembahasan kita meluas. Aku tak tau apa yang harus ku katakan ketika 100 persen masalah yang kau ceritakan bukanlah tentang dirimu.

Apa yang kau ucapkan mengubah penilainku tentang dirimu yang begitu study oriented. Aku terharu ada orang yang begitu peduli dengan lingkungannya sepertimu dinda. Aku haru ketika dadamu menjadi sesak karena melihat hal buruk yang dilakukan orang lain pada orang lain yang sebenarnya tak ada hubungannya denganmu.

Adikku yang ku sayang karena Allah, ini akan menjadi bijak ketika kita mengulurkan rentang waktu yang lalu menjadi hikmah. Jika dilihat dari sisi yang begitu arif akan kuungkapkan ini dengan hatiku, maka dengarkan pula dengan kau membuka hatimu atas apa yang akan ku ucapkan.

Bukankah Allah itu begitu mengerti akan keunikan manusia? Kalian dengan keunikan kalian masing-masing juga tak akan bisa kakak sama-samakan. Berkali-kali coba berikan tarbiyah yang lebih aplikatif tapi kakak tak pernah bisa menemukannya untukmu, coba selami peristiwa ini baik-baik. Bukankah sepaket tugas dakwah itu langsung Allah yang memberi mandat?

Selesaikanlah dan ungkapkan apa yang seharusnya diungkapkan.

Terimaksih untuk genggaman kuat yang mengingatkanku akan tanggung jawabku dan hakmu atas diri ini. ^^

Komentar