Sadar Sinetron Yuk...

Oleh. Fitria Larasati 

Buat yang cinta mati sinetron
Buat yang anti sinetron

Hampir 90 persen penduduk Indonesia memiliki sebuah TV. Bahkan, tidak jarang karena alasan berbeda selera serta tayangan TV yang sering berbenturan waktuya, sebuah keluarga memutuskan untuk memiliki TV lebih dari satu. Untuk diletakkan di ruang keluarga, kamar, bahkan dapur bagi ibu-ibu yang tak ingin ketinggalan jalan cerita acara kesayangannya ketika bekerja di dapur.

Beragam siaranpun terus berganti-ganti dengan jeda iklan pada tiap lima menitnya. Dari sekian banyak acara yang ditawarkan stasiun TV, sinetron terbukti menjadi salah satu sajian utama dengan jam penayangan tiap harinya mencapai 6 sampai 10 jam. Abdul Azis Saefudin yang menuliskan buku ini menggambarkan secara runut bagaimana mungkin sebuah Sinetron dapat menduduki jam tayang cukup panjang setiap harinya. Membuka cakrawala berpikir kita  tentang bagaimana proses awal munculnya sinetron di Indonesia, hitung-hitungan singkat mengenai mengapa sebuah sinetron itu mampu melaju dengan jumlah episode berlipat-lipat. Hingga siapa sebenarnya yang mendapatkan keuntungan dari pemutaran sinetron ini.

Republik Sinetron menjadi judul pada buku ini karena menurut Saefudin bukanlah sinetronnya yang bermasalah, Tetapi yang bermasalah adalah materi yang ditayangkan pada sinetron itu. Saefudin membandingkan efek-efek yang ditimbulkan sebuah sinetron yang memiliki materi positif hingga negatif. Seperti serial Amigos yang dulunya begitu familiar di kalangan anak-anak dan mengajarkan anak-anak pada nilai-nilai kebaikan perlu dipertahankan.

Keberadaan sinema elektronik seperti Amigos, Si Doel Anak Sekolahan, dan beragam sinetron yang bersifat mendidik lainnya ini bagai mutiara kecil di antara kerikil-kerikil tayangan sinetron lainnya. Untuk saat ini, bahkan sebuah sinetron itu memiliki titik tekan pada gaya hidup hedonis, matrealis, tindakan kekerasan, saling adu-domba, cinta segitiga, Agama yang kemudian menjadi sempit, serta jauh dari realitas masyarakat kita.

Buku ini juga menyentil orang-orang yang anti sinetron untuk membuka mata bahwa mau tidak mau sinetron tetap menjadi konsumsi paforit masyarakat Indonesia. Keberadaannya yang dari segi materi menimbulkan sikap prihatin seharusnya dapat kita luruskan bersama, minimal dengan sebuah pengawasan bagi mereka yang cinta mati sinetron.
Pada akhirnya, buku ini memberi solusi-solusi bagi para pengkonsumsi sinetron untuk dijadikan tolak ukur kualitas yang semoga saja dapat dibaca pula oleh para penggiat rumah produksi sinetron untuk dijadikan standar sebuah sinetron yang akan mereka buat.

Secara keseulurhan buku saku ini menggunakan bahasa yang mudah dipahami serta contoh-contoh yang akrab pada kita hingga maksud penulis untuk menuliskan buku ini mudah ditangkap oleh para pembaca. Penulisan yang runut juga memudahkan pembaca untuk mengerti tiap bagian informasi yang ingin disampaikan. Hanya saja, pada bagian-bagian tertentu, ulasan yang disampaikan terasa berulang-ulang. Hingga, terkadang si pembaca dapat menebak maksud pada sub bab tertentu dengan telah membaca sub bab sebelumnya.

Meski demikian, Buku Kecil “Republik Sinetron” ini ditulis oleh seorang pengajar yang sangat mencintai negeri ini. Hingga buku ini menjelma menjadi sebuah karya yang muncul dari hati untuk dibaca dengan hati pula oleh penduduk Republik Indonesia ini. Sebuah karya hebat bernilai fardhu Kifayah. 

Komentar