"Kau Bukan Pejuang. Belum Sampai Kau Pada Gelar Itu"

Kamis lalu, ketika duduk dalam sebuah acara. Teman saya mengeluarkan buku "Bumi Manusia" karya Pramoedya Ananta Toer yang merupakan bagian dari tetralogi bukunya.Iseng saya berkata "Belikan saya satu kan baru dapat banyak rizki". Ternyata dengan tanpa dapat disangka-sangka teman saya itu memberikan saya sebuah Roman Pramoedya yang bejudul sama dengan panggilan nama saya "Larasati."


***

Dari sudut mana harus meresensi Roman dahsyat yang ditulis oleh seorang yang telah terekam jelas jejak-jejak sastranya ini. 

Mungkin berangkat dari, Roman ini padat isi. Bahasa yang menarik khas sekali nilai-nilai perjuangan hingga kita dapat merasakan ruh para pejuang. Membayangkan para pemuda belasan tahun yang mati muda dalam keadaan menyedihkan. Namun dikenang menjadi Jendral.Dalam perjuangan, ah... ada saja yang menodai dari dalam. Tak ayal tak sedikit jumlahnya Republikan yang mengais rizki dari berskutu dengan Belanda dan menginjak-injak rakyat sendiri.

Hancurkan... Hancurkan, kata ini yang zaman itu menjadi falsafah. Yang kalah dan tidak taat maka "Hancurkan". 

Larasati, seorang aktris yang begitu terkenal berjuang dengan caranya sendiri. Meski ia bahkan mungkin lebih layak disebut pelacur ulung buku ini tidak terlalu menekankan pada bagian-bagian yang demikian, hingga buku ini asyik dibaca tanpa ada pereasaan was-was akan bahasa "esek-esek" yang lumrah kita jumpai pada novel zaman ini.

"Kau bukan pejuang. Belum sampai kau pada gelar itu"

Merupakan hal baru dalam perjalanan Larasati merasa pintar dan harus berpikir, jika ditanya siapa gurunya, maka jawabannya adalah "revolusi". Revolusi mengajarnya untuk lebih bijak memilah kisah yang didengarnya agar dapat menjadi pembimbing. Mendengarkan dengan baik suara Radio yang berputar-putar dan meneliti koran-koran untuk betul-betul dipelajari. Dengan revolusi ia belajar bagaimana indahnya jika menjadi ibu. karena, ia tak kan pernah bisa lagi miliki anak.

Bagi yang kurang suka membaca sejarah dalam rekaman tulisan esai. roman ini merekamnya sederhana dari sudut pandang seorang larasati.

Komentar