Meulaboh, Kami Belajar Banyak (Part 1)

Dari mana datangnya sekumpulan anak ingusan yang membawa dua buah ransel permanusia ini? Padahal sudah diintruksikan untuk membawa sedikit saja barang. Namun, namanya perempuan kita menghemat pakaian dalam dua ransel saja sudah luar biasa bukan. 

Senin itu akhirnya kita sampai juga di Aceh Barat. Daerah yang kita tuju sepenuh hati dalam rangka membantu  dengan apa yang kita bisa. Tak ingin menjadi Ka'ab, tak ingin menjadi golongan orang-orang yang menangis. kita tempuh perjalanan ini dengan senandung teka-teki mengenai mozaik-mozaik di hari depan. Dalam perjalanan yang menghabiskan waktu hampir 6 jam itu, mungkin aku dan uswah adalah orang yang paling ribut. Dalam hati aku begitu bersyukur, betapa langkanya bisa bercerita panjang lebar demikian dengan seorang ukhti solihah di bawah gelap malam yang dihiasi lampu jalan dan geluduk bebatuan jalan yang sedang diperbaiki itu. Meski kami juga memikirkan tiga orang "anak kecil" (Nurul, Mimi dan Laina) yang masih menunggu jemputan L300 di Banda Aceh.

Singkat cerita, biarkan aku membagi kisah ini dengan beberapa key word. key word ini terdiri dari ambulace, rumah pak Ramli, sakit perut, laut, dan masyarakat.

Ambulance, dengan ambulance ini kita dibawa kesana kemari. Apakah ini sebuah derita? tentu tak sebanding dengan perjalanan perang Rasulullah dan cerita kakak kita yang harus membawa batu dalam perjalanannya memasuki desa-desa (jika tiba-tiba remnya blong dan mobil mundur siap-siap ganjal ban mobil dengan batu)

Kendaraan Bersejarah

Ine tersenyum meski lelah

Aku tak mengeluh, hanya saja dengan menaiki ambulance kemana-mana ini menutup jarak pandangan mata, tak bisa melihat kemana-mana. Sekali pulang dari sebuah desa aku memilih menaiki speda motor bersama kak Marlina. Dengan menaiki Beat ini kami tak langsung pulang. Kubujuk kak Marlina untuk mengunjungi rumah orang yang katanya terkaya di Meulaboh itu. Seperti detektif ''unyu'' kami memfoto rumah tersebut dari kejauhan. Untuk apa?? Ah, ini bagian dari ukhuwah betapa aku paham teman-teman yang tak sempat melihat langsung juga ingin melihat rumah yang menurut rumornya sangat megah ini. Hihi

Maaf ya pak, saya ngambil foto rumahnya gak pakai izin


Siang itu, kita tak makan nasi bungkus. Sebuah undangan tersebar di hp kita. Undangan makan di rumah pak Ramli. Karena akhwatnya banyak kita disebar dalam dua ambulance. Meski tak bisa melihat pemandangan ternyata ambulance kami masih lebih baik. Karena jendelanya masih bisa ditutup. Sedangkan rombongan ''anak kecil'' yang berada diambulance satunya lagi lebih menyedihkan konon katanya mereka turut bersauna ''debu'' meulaboh yang berwarna coklat muda dan 100% alami. Hihi...

Kita bersama mereka

Sesampainya di rumah Pak Ramli kita berjibaku dengan ratusan atau bahkan ribuan masarakat lainnya. Aku terdecak melihat ramainya manusia ini. Bagaimana tidak, aku merasa jalan yang kami lewati menuju rumah ini seperti menuju hutan belantara. Rumah dengan aksen modern yang menurut penilaian arsitek udik sepertiku ini sengaja didesain dengan membesarkan ruang silaturrahmi bahkan ditambah dengan halaman belakang yang bisa dijadikan lapangan putsal itu sangat multifungsi. Baiklah, ini refresentatif bagi rumah seorang publik figur. Ramai manusia dengan segala bentuknya. Jika demikian keadaanya, dari apa aku harus menilai bagaimana cara pandang masyarakatnya (secara mahasiswa kan harus analitik) hihi... Kecuali dengan melihat pakaian apa yang mereka gunakan. Ada yang begitu glamour dengan pakaian serba mahal. Namun, ada juga yang begitu sederhana bahkan dibawah sederhana. Apa hikmahnya? Kita berbaur teman. Inilah masyarakat nyata yang akan kita jumpai, inilah mereka yang menjadi PR perbaikan kita dalam jibaku matakuliah-matakuliah kita yang kadang sudah sangat menjauh dari kebutuhan mereka. Jangan tanya teori mengenai manajemen masa dan yang lainnya pada mereka. Kebayanyakan mereka masih menginginkan sejengkal perutnya dapat terus terisi.

Pantai Ujung Karang

apa lagi yang menarik. Pantai, pantai ujung karang ini begitu luar biasa. Bukan pasir yang menyambut kita dengan panorama menakjubkannya. Tapi tumpukan karang-karang yang berkerumung membentuk permukaan cantik luar biasa. Sudah pernah dihina?  dicemooh dan diledek ukhtiku? Aku tau mungkin hari itu kita semua mengalaminya. Namun, pantai ini membuat kita kembali tersenyum dalam suasan lomba lemparan batu. Meski awalnya aku juara satu, namun posisiku tergantikan oleh kak erna sang atlit pelempar beling... Hihi...

Bersambung...


Komentar

  1. Haha
    Ka'e
    Uswah baru baca
    Keren2
    Keren sekali
    Akhhh
    Kapan lagi ada masa seperti itu ya?

    BalasHapus

Posting Komentar