"Tutur Gayo" Menuliskan yang Hampir Hilang

Oleh. Fitria Larasati

Mengabadikan rekam sejarah yang pada masanya akan terpilah-pilah menjadi rangkaian puzzle sayapun setuju ini mutlak dilakukan. Bahasa dan gejala yang kita lakukan tanpa diresapi akan berlalu begitu saja tanpa jejak atau tanpa pertanda. Kehilangan pertanda akan kehilangan ikatan.


Bahasa pertanda yang kemudian menjadi citra ini memang unik. apa yang diucapkan bukan hanya tentang sesuatu yang dipermukaan. Namun, bahasa hakikatnya menggambarkan kondisi sosio kultural sang pengguna bahasa. Untuk itu, saya mengapresiasi sekali buku "Tutru Gayo" yang dikarang oleh abang kami Yusradi Usma Al-Gayoni ini. 

Buku ini dibuka oleh pemaparan fakta bahwa pengguna bahasa Gayo tidak lebih dari 50.000 orang. Dimana bahasa gayo sendiri pada hakikatnya muncul dari aspek sosio kultural masyarakat gayo itu sendiri. Ia terikat secara ekolinguistik dengan segala apa yang ada pada Gayo itu sendiri.

Bahasa yang muncul dalam sebuah babnya dikatakan sangat berkaitan dengan nilai budaya gayo yang diwakili oleh nilai-nilai mukemel (harga diri), tertib (tertib), Semayang-gemasih (kasih sayang), mutentu (kerja keras), amanah (amanah), genap mupakat (musyawarah), alang tulung (tolong-menolong), dan bersikemelen (kompetitip).

Buku ini juga menuliskan tutur dalam bahasa gayo secara lengkap. penulis membaginya menjadi tutur yang asli, yang berubah dan dipakai masa kini serta tutur yang sudah tidak lagi digunakan. Untuk mereka yang ingin mengenal dan memperlajari kebudayaan gayo buku ini cukup baik untuk dijadikan referensi. karena buku ini juga memberikan penjelasan singkat mengenai peristiwa terbentuknya tutur itu. Misal, ketika terjadi kecelakaan akan muncul tutur yang disebut "biak sebut".

Buku ini juga dilengkapi dengan skema tutur dalam masyarakat gayo. skema ini akan memudahkan kita dalam melihat gambaran sistem tutur yang berlaku di masyarakat gayo.

Penulis juga memaparkan data mengenai kemerosotan penggunaan bahasa gayo asli. Penulis mengutip fakta bahwa "Orang tua kelahiran 1920-1960-an masih berbahasa Gayo kepada anaknya yang lahir tahun 1970-1980-an. Namun, orang tua yang lahir pada tahun 1970-an sampai sekarang lebih memilih bahasa Indonesia, Meski sebagian kecil ada yang berbahasa gayo..."

Terakhir, ada sebuah pepatah Gayo yang dituliskan penulis dalam buku ini "Jema si be tutur, berarti jema mu agama, mu edet dan mu peraturen" - orang yang menggunakan tutur berarti orang yang beragama, beradat dan taat peraturan-

Komentar