Religiusitas dalam Kesiap Siagaan Bencana

Oleh. Fitria Larasati

Tsunami 10 tahun silam sungguh menjadi pelajaran besar. Kejadian ini menjadi salah satu titik bencana-bencana alam beruntun yang terjadi di Indonesia secara keseluruhan. Peta indeks kerawanan bencana di Indonesia menunjukkan  secara keseluruhan kawasan Indonesia terletak pada daerah bahaya yang berpotensi menjadi bencana. Bahaya yang bisa dikendalikan memungkinkan kita terhindar dari bencana. Kesadaran akan adanya Bahaya akan memudahkan kita melakukan usaha-usaha untuk mengantisipasi bencana yang mungkin akan terjadi.  Kesadaran akan ada bahaya  khususnya tsunami ini menjadi penting sebagai corong informasi dari generas ke generasi untuk senantiasa dapat ramah hidup dengan “bahaya”.

Peta Indeks Kerawanan Bencana Indonesia
Sumber: https://www.google.co.id
Dalam konteks sosio cultural masyarakat. Masyarakat dengan sendirinya telah membentuk persepsi mengenai gambaran tsunami dan bagaimana meneruskan cerita tsunami ini. Cara bercerita folklor dari mulut ke mulut memang dirasa cukup efektif. Namun, dalam tradisi kebudayaan mudah hilang karena tidak terarsipkan. Persepsi linguistik dalam bentuk cerita yang terbentuk di masyarakat sesungguhnya sudah mewakili sikap kesiap siagaan bencana. Dalam konteks yang lebih luas pemerintah juga telah terus berupaya agar bentuk warisan sejarah kebencanaan ini dapat terarsipkan melalui monumen-monumen serta pengkajian-pengkajian mengenai kebencanaan. Namun, persepsi berbeda antara apa yang masayarakat rasakan dan butuhkan kadang masih berbeda dengan apa yang digagas oleh Pemerintah.

Seperti pada gempa 2010 lalu, masyarakat masih dirumitkan dengan bagaimana sebenarnya cara mendapatkan informasi yang akurat mengenai kemungkinan tsunami, jalur mana yang seharusnya ditempuh dan fungsionalisasi dari Escape Building yang terbukti tidak begitu vital perannya pada saat gempa. Yang terjadi adalah beberapa jalanan lumpuh karena arus kendaraan yang bertumpuk pada titik-titik tertentu. Padahal, generasi yang tengah kebingungan ini hanya berjarak sekitar 6 tahun dan kejadian tsunami.

Kepanikan saat Gempa Bumi
Sumber: www.acehtraffic.com

Kesiap Siagaan Kelompok Masyarakat sebuah Efek Religiusitas Individu

Pada perbedaan persepsi kebencanaan seperti yang saya paparkan di atas maka perlua ada ruang transisi yang menjadi alat komunikasi efektif anatara pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini, saya pribadi mengambil jalan  Religiusitas atau yang disebut keimanan. ruang Keimanan personal individu akan memepengaruhi keimanan masyarakat secara komunal. Ruang transisi anatara pemerintah dan masyarakat ini muncul karena adanya irisan persamaan keyakinan pada Islam.

Beberapa inventaris masalah yang terjadi akibat kesalahan-kesalahan individu ketika terjadinya bencana adalah; kepanikan individu yang berujung pada kepanikan masyarakat secara umum yang berakibat pada menghilangnya pengetahuan akan cara menyelamatkan diri. Kemacetan pada titik-titk tertentu karena dipadati masyarakat yang menggunakan kendaraan dan ingin selamat sendiri tanpa memikirkan orang lain. Simpang siurnya informasi akurat yang sampai ke telinga masyarakat.

Pada kenyataannya kegiatan yang demikian telah Allah jelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Ma’rij ayat 19-22 “Sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan berkeluh kesah. Ketika ditimpa kesulitan ia gelisah, dan ketika mendapat kebaikan, ia menahan diri, kecuali orang yang shalat.” Tabiat manusia yang mudah berkeluh kesah ini menjadi poin yang harusnya juga ditangkap oleh pemerintah. Bahwa program-progmran kebencanaan yang ditelurkan ke masayarakat harusnya bukan hanya memiliki bobot pengetahuan. Namun, melibatkan perasaan emosional yang mendalam sehingga masayarakat berpengetahuan dan dapat lepas dari keadaan panik.

Salah satu watak mendasar yang dimiliki manusia adalah perasaan takut, watak dasar ini yang mendorong manusia untuk senantiasa berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Dalam hal ini, meski seorang individu telah memiliki pengetahuan akan lajur lalu lintas kebencanaan namun ancaman dekatnya bencana yang bisa saja merenggut nyawanya seketika membuatnya acuh tak acuh untuk tidak lagi mengikuti aturan bahkan berani mengorbankan orang lain di jalan raya.

“dan Sungguh kami akan menguji kalian dengan rasa takut, lapar dan ekurangan harta dan jiwa dan buah-buahan dan bergembiralah wahai orang yang sabar.”[1]

Pengetahuan yang berjalan beriringan dengan emosi keimanan membuat manusia senantiasa berada dalam keadaan berhati-hati dan dalam sikap yang tenang. Karena ia berprasangka bahwa telah menjadi ketetapan Allah bahwa manusia tidak dapat mengetahui hal-hal gaib, termasuk kapan bencana itu akan datang.

“Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat hanya milik Allah. Dan Dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalah rahim, dan tidak seorang pun yang dapat mengetahui apa yang akan diusahakannya besok, dan tidak seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia kan mati.”[2]

Kemapanan individu untuk meyakini bahwa Islam menuntut mereka agar meyakini bahwa segala bentuk bencana merupakan ketetapan Allah yang tidak dapat dihindarkan atau dibatalkan oleh kekuatan apapaun. “katakanlah: tidak akan menima kami kecuali segala sesuatu yang telah dituliskan oleh Allah untuk kami.”[3]

Buah dari keimanan ini dikatakan oleh Dr. Jamal Elzaky dalam bukunya Buku Induk mukjizat Kesehatan Ibadah adalah semakin kuat iman seseorang, semakin besar pula ketenangan yang dirasakannya sehingga jiwanya diliputi kebahagiaan setiap saat. Penulis Amerika, Lenox, dalam bukunya Kembali Kepada keimanan yang saya kutip dari buku Dr. Jamal Elzaky menyebutkan bahwa ornag yang rutin menjalankan ibadah dan memiliki keyakinan kepada Tuhan cenderung memiliki jiwa yang lebih kuat dibanding orang yang tidak beragama dan tidak pernah melakukan ibadah.

Keimanan yang tumbuh dalam individu masyaarakat menyebabkan kesiapan masayarakat dalam mengahdapi bencana dengan tenang. Ketenangan ini menimbulkan akal sehat. Sehingga dalam keadaan genting sekalipun masyarakat masih dapat mengingat pengetahuan-pengetahuan kebencanaan yang memang pada dasarnya telah dimiliki.

Religiusitas individu ini mendorong menghilangnya perasaan untuk saling mendahului ketika terjadi bencana. “Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan.”[4] Bahkan masayarakat dengan sendirinya cenderung mengutamakan mayaarakat lainnya. ”dan mereka lebih mengutamakan 9orang lain) di atas diri mereka sendiri meskipun mereka dalam kesempitan.”
Kemanfaatan religiusitas ini ternyata berefek saling sinambung untuk menyelsaikan beberapa inventarsi masalah yang terjadi ketika bencana menerpa.

Religiusitas Masyarakat efek Pembinaan Pemerintah

Dalam peningkatan keimanan masyarakat yang berkenaan langsung dengan kesiap saiagaan bisa disebut sebagai program pada ruang transisi. Perpaduan antara ahli kebencanaan dan keagamaan dapat dikombinasikan sedemikian rupa. Sebagai contoh pada kalender Fase yang digagas Pusdalops Provinsi Sumatera barat ini.

Kalender Fase Bulan
Sumber: PUSDALOPS PB SUMBAR

Kalender yang dibuat merujuk pada penanggalan Hijriah ini mengikuti penelitian tentang gejala alam dan pergerakan bulan terhadap bumi. Ketika kalender ini dibagikan ke masayarakat maka semangat yang ditularkan adalah semangat untuk meningkatkan keimanan.
Tiap minggunya pada hari senin dan kamis akan tanda peringatan yang sesuai dengan Puasa Sunnah Senin kamis. Tiap tanggal 13, 14 15 juga akan ada peringatan. Dimana pada saat itu pula umat muslim disunnahkan untuk berpuasa tengah bulan. Kalender ini menggagas bahwa “bencana dan kematian bukalah sesuatu yang bisa dihindari. Namun, ketika kesiap siagaan yang ditandai dengan memeperbanyak amal ibadah di waktu-waktu yang memang sesuai dengan hasil penelitian terhadap jumlah terbanyak terjadinya bencana ini membuat masyarakat lebih siap dan tenang dalam menghadaipi bahaya bencana.”


Religiusitas Escape Building

Dalam kejadian gempa bumi tahun 2010 silam. Kompas.com sempat merilis berita mengenai rendahnya masayarakat yang menyelamatkan diri ke bangunan yang memang diperuntukkan bagi penyelamatan tsunami tersebut. 3 hari setelah gempa, saya dan seorang teman menemui beberapa masayarakat di kawasan Ulee Lhee. Beberapa masayarakat pada faktanya memang tidak menggunakan Escape Building sebagai tempat penyelamatan.

Beberapa alasan yang dipaparkan oleh mayarakat terangkum dalam kalimat “Lebih baik lari ke gunung, kalau tidak ke masjid. Kalaupun tidak selamat ada di bawah naungan masjid yang merupakan Rumah Allah adalah sebuah kematian yang mulia.”

Dalam hal ini, dalam konteks arsitektur bangunan Escape Building saat ini dirasa dibangun dengan kurang memeperhatikan kebutuhan dan budaya di masayarakat sekitar. Sehingga, Escape Building berdiri sebagai bangunan tunggal yang kurang berkomunikasi dan berinteraksi dengan masayarakat sekitar. Dengan tanpa adanya komunikasi ini maka individu yang berada di sekitar bangunan akan dengan sendirinya tidak merasa bahwa escape building adalah bangunan yang ramah untuk menyelamatkan diri.

Revitalisasi Escape Building dengan konsep berupa peningkatan kualitas struktur pada bangunan masjid sehingga mampu menahan beban ketika terjadi bencana dirasa merupakan salah satu alternatif solusi yang bisa diterima oleh masyarakat. Membuat sebuah prototif perancangan masjid yang mampu dijadikan rujukan pembangunan masjid-masjid ke depannya.

Lantai Masjid yang didesain lebih tinggi dari permukaan tanah, adanya menara serta halaman yang biasa terdapat di halaman masjid merupakan elemen pendukung yang bisa dimanfaatkan untuk area penyelamatan.



[1] Q.S. al-Baqarah: 155
[2] Q.S. Luqman: 34
[3] Q.S. al-Tawbah: 51
[4] Q.S al-ma’idah :2

Komentar