Tiram yang Menjadi Sumber Hidup

Belum mahasiswa Unsyiah kalau belum berkunjung ke Alue Naga. Pantai cantik yang memiliki 4 sudut terbaik. Pulau Sabang yang hening, hamparan pegunungan Seulawah, serta bukit barisan menjadi view gratis yang bisa anda nikmati di sini. Jarak yang tak seberapa dari kampus membuat pantai ini cukup ramai dikunjungi mahasiswa.

Tilik telisik, Alue Naga menjadi kawasan  permukiman khusus yang setelah kejadian tsunami seharusnya tidak lagi layak menjadi permukiman. Namun, anekdot unik mengenai argonomik tangan nelayan menarik pukat yang tak mungkin sama dengan ketika mengangkat cangkul menjadi salah satu sebab utama masyarakat asli kembali ke daerah ini.

Hampir 10 tahun rentang jarak dari tsunami. Masyarakat asli dan pendatang bercampur baur dalam hunian tipe 36 bantuan NGO ini. Seperti pada kebanyakan tempat yang telah terjadi pencampuran maka dengan sendirinya masyarakat asli cenderung termarginalkan oleh masyarakat pendatang. Masyarakat asli dengan pengetahuan dan ilmu turun temurun tidak mampu bersaing dengan pendatang. Hasil survey sederhana menunjukkan bahwa rumah yang memiliki keadaan lebih bersih pengembangannya terencana adalah milik pendatang sedangkan masyarakat asli yang diberikan rumah sama dengan pendatang memiliki arah pengembangan yang tidak begitu baik dan cenderung kurang baik secara kualitas lingkungan yang dimunculkan.

Tukang Tiram
Dua ibu dan bapak ini adalah tukang tiram. Mereka hidup dari tiram dalam makna sebenarnya. Jadwal mereka bukan menggunakan jam dinding tapi jam pasang surut air laut. Terutama pada kanal banjir Lamnyong. Bisa jadi mereka mulai mengambil tiram pukul 2 atau pukul 4 atau bahkan pagi hari. Mereka bisa mengukur kedalaman air berdasarkan tapak kaki yang menginjak lumpur di air. Kaki mereka sudah sensitif, tiram yang akan mereka ambil diraba menggunakan kaki. 

Sumber : Dokumen Pribadi
Siklus tak terputus, ibu anak menerukan pada anaknya bakat mencari dan menjual tiram


Banyak yang berharap hidup dari tiram-tiram ini

Komentar