Arsitektur Suku Gayo (Bagian 1)

Arsitektur suku Gayo masih cukup sulit untuk dipelajari. kurangnya bahan bacaan dan penelitian berkala yang berfokus pada perkembangan arsitektur masyarakat gayo menjadi salah satu sebab pendalaman akan nilai-nilai yang terkandung pada arsitektur gayo belum bisa dikaji secara lebih mendalam. Berikut salah satu pemaparan mengenai arsitektur suku gayo yang saya ambil dari buku “Arsitektur Tradisional Provinsi Daerah Istimewa Aceh.”

Pola Perkampungan

Pola perkampungan suku Gayo pada umumnya mengelompok pada tempat-tempat tertentu. Hal ini sangat kentara pada perkampungan-perkampungan tua.  Perkampungan di sini merujuk pada kumpuland ari rumah-rumah yang menempati areal-areal tertentu yang dibatasi oleh sawah, ladang, atau sungai-sungai kecil, lembah atau hanya semacam kesepakatan yang diakui bersama anatar satu kampung dengan kampung lainnya.

Hal yang umum didapati adalah jalan-jalan kecil berukuran sekitar 3-4 meter mengitari kampung yang disebut dewal. Dan apabila di pinggiran kampung tersebut terdapat sawah, maka sawah tersebut disebut ume dewal  yang biasanya sangat subur. Di antara rumah-rumah masyarkatnya dihudungkan dengan jalan-jalan setapak. Dari seluruh rumah dalam satu kampung masih terbagi atas beberapa belah (klen),  yaitu orang-orang yang masih merasa berasal dari satu nenek moyang yang sama melalui garis keturunan laki-laki (patrilineal).


Dalam satu kampung biasa terdapat sebuah Masjid (mesegid), beberapa Menasah (Mersah) dan joyah yang dilengkapi dengan WC berupa pondok kecil yang airnya terus mengalir. Mersah khusus untuk tempat beribadah laki-laki dan joyah untuk beribadah kaum perempuan.  Ketiga bangunan ini basanya dibangun dipinggiran kampung dimana terdapat aliran air (anak kali). Pada setiap Mesjid, Mersah dan joyah biasanya terdapat nin  (kolam kecil), tempat mandid an berwudhuk, yang airnya dialirkan dari kali kecil sehingga airnya terus berganti.

Selain itu terdapat bebalen yakni pondok kecil, mirip dengan joyah, yang biasanya dibangun dipinggiran jalan, tempat orang pejalan kaki berteduh sekaligus melaksanakan shalat.

Jenis-Jenis Bangunan
Rumah adat tradisional di Kabupaten Aceh Tengah adalah rumah panggung, berkolong sekitar 2 meter sampai 2,5 meter di atas tanah. Membujur dari dari Timur ke Barat dengan maksud untuk memudahkan mengenali kiblat ketika sembahyang dan menghindari terpaan angin yang mudah merusak atap. Karena umumnya angin bertiup lebih kencang dari Barat ke Timur.


Rumah dibuat tinggi karena kondisi alam yang saat itu masih berhutan-hutan. Untuk mengindari gangguan binatang buas. Selain itu juga untuk memudahkan memandikan orang tua yang telah ozor, yang sedang sakit, serta memudahkan anak kecil buang air di malam hari. Di samping itu juga memudahkan memandikan jenazah. Lantainya pada umumnya dari sejenis enau yang disebut temor dan ada juga yang dari bambu yang telah direndam terlebih dahulu. Atap rumah dibuat dari daun serule yang panjangnya sekitar 60 cm disematkan dengan serat kulit tumbuhan lelede, kereteng, nunen. Jarum penjahitnya dibuat dari bambu tua. Setelah semuanya terekat barulah atap tersebut disebut supu.

Umah Time Ruang (umah=rumah) ialah rumah besar yang memiliki beberapa ruang. Tiangnya didirikan di atas batu yang merupakan ompak. Memiliki 36 buah tiang berderet-deret empat-empat. Pada ruang bagian tengah terdapat reje tiang dan puteri tiang. Setiap ruangan yag terdapat di umah time ruang ini berukuran 3x3 meter.


Lebar rumah tradisional ini umumnya sembilan meter. Bagian depan sebelah timur merupaka ruang terbuka yang disebut lepo. Bagian ini merupakan tempat berjemur, menghirup udara pagi dan tempat para wanita menganyam tikar, mengobrol dan lain-lain.

Bagian kanan rumah disebut serami rawan (serambi laki-laki) dan bagian kiri disebut serambi  banan (serambi perempuan). Bagian depan yang sejajar serambi banan terdapat anyung yang berisi dapur besar yang hanya digunakan ketika ada upacasra atau hajatan besar.

Antara serambi rawan dan serambi banan terdapat bilik dari ujung ke ujung sebanyak tujuh buah yang disebut umah rinung (kamar tidur). Pad apinggir lepo sejajar serambi rawan terletak kite (tangga) yang kadang-kadnag berukir.

Tiang rumah adat tradisional ada dua bentuk. Ada yang berbentuk bulat dan ada yang persegi empat. Pada ketinggian 2 atau 3 meter tiang dipalang untuk tempat bentalan. Bentalan yang memanjang disebut rak bujur, sedangkan bantalan menurut lebar disebut ruk lintang. Di atas bantalan yang melintang ini diletakkan gergel yang merupakan papan tebal diletakkan berdiri sebagai penahan lantai.


Bagian bawah rumah panggung disebut keleten. Keleten sebagai tempat bekerja pada waktu-waktu senggang seperti membuat gagang cangkul, menarah rotan-rotan dan sebagainya. Di bawah kolong ni juga baisa nya dijumpai jingki yaitu alat menumbuk padi dan tepung yang ditekan dengan kaki beramai-ramai. Disamping itu di antara tiang-tiang sekeliling rumah itu diletakkan bersusun kayu api sampai-sampai mencapai buntalan rumah. Kayu-kayu tersebut merupakan persiapan ketka turun ke sawah maupun persiapan kayu api dalam upacara-upcara seperti perkawinan dan sebagainya.

Setiap petak ruangan diduduki oleh satu keluarga dan setiap keluarga memiliki minimal satu dapur. Setiap petak ruangan serami dilengkapi oleh tungku, selain memasak digunakan juga sebagai tempat berdiang terutama bagi keluarga masing-masing ada waktu malam hari. Pada musim dingin dapur dikelilingi untuk menghangatkan badan. Para anggota keluarga tidur mengelilingi ketiga sisi tungku.

Komentar